Farmako SSO
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sistem syaraf otonom (SSO) berdasarkan morfologi dan fungsionalnya dibagi menjadi dua yaitu sistem simpatis dan parasimpatis. Kedua sistem syaraf ini bekerja
berlawanan (antagonis). SSO berfungsi memelihara keseimbangan dalam organisme. SSO merupakan saraf-saraf
yang bekerjanya tidak dapat disadari dan bekerja secara otomatis disebut juga otot tak sadar. Sistem saraf otonom terbagi menjadi
2 bagian yaitu sistem saraf simpastis dan saraf parasimpatis. Sistem simpatis terbagi menjadi dua bagian
yang terdiri dari saraf otonom cranial dan saraf otonom
sacral. Terletak di depan kolumna vertebra dan berhubungan dengan sumsum tulang belakang melalui serabut-serabut saraf.Saraf simpatis berfungsi menginervasi otot jantung, pembuluh darah, otot polos, semua alat dalam seperti lambung,
pancreas dan usus, melayani serabut motorik sekretorik pada kelenjar keringat, serabut motorik pada otot tak sadar dalam kulit, serta mempertahankan tonus semua otot sadar. Saraf parasimpatis berfungsi untuk merangsang sekresi kelenjar air mata,
kelenjar sublingualis, submandibularis dan kelenjar-kelenjar dalam mukosa rongga hidung, menginervasi kelenjar air mata dan mukosa rongga hidung, kelenjar ludah, parotis, sebagian besar alat tubuh yaitu jantung,
paru-paru, GIT, ginjal, pancreas, lien, hepar dan kelenjar suprarenalis, kolon desendens, sigmoid, rectum, vesika urinaria dan alat kelamin, serta berperan dalam
proses miksi dan defekasi. Secara anatomis usus, saraf otonom terdiri atas saraf praganglion, ganglion dan pasca ganglion yang mempersarafi selefektor. Serat eferen persarafan otonom terbagi atas system persarafan simpatis dan parasimpatis. Sistem saraf simpatis
(Torakolumbal segmen susunan saraf otonom) disalurkan melalui serat torakolumbal 1 sampai lumbal 3. Serat saraf eferennya kemudian berjalan ke ganglion vertebral, pravertebral dan ganglia terminal. Sistem persarafan parasimpatis (segmen kraniosakral susunan saraf otonom)
disalurkan melalui beberapa saraf cranial yaitu
N III, N.VII, N.IX, N.X dan serat saraf yang berasal dari sakral
3 dan 4.
Tujuan
Tujuan praktikum ini adalah
untuk mengetahui prinsip kerja dari obat sistem syaraf otonom (simpatomemetik,
parasimpatomemetik, parasimpatolitik) dan gejala klinis yang menyertainya.
METODOLOGI
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah
spoid 1 ml, pipet tetes dan senter. Bahan yang digunakan yaitu mencit, kelinci,
asam borat, pilokarpin, physostigmin, atropin, dan epinefrin.
Prosedur
Mencit pertama disuntik dengan
pilokarpin atau physostigmin 0.05 ml secara SC dengan dosis bertingkat. Kemudian dilakukan pengamatan pada 5 menit
setelah penyuntikan tersebut sampai mencit mengalami sesak nafas, kifosis, dan
mati. Mencit kedua disuntik dengan atropin 0.05 ml dosis bertingkat secara
subkutan. Kemudian dilakukan
pengamatan pada 5 menit setelah penyuntikan tersebut sampai mencit mengalami
kematian. Kedua, mata kelinci
pertama dibersihkan dengan asam borat
beberapa tetes menggunakan pipet tetes. Setelah bersih kedua mata kelinci
diberikan epinefrin dan diamati perubahan pupil, interval 10 menit kemudian
dinetralkan dengan asam borat. Setelah kedua mata kelinci bersih, kemudian
diberikan atropin dan diamati perubahan pupilnya, interval 10 menit dinetralkan
kembali dengan asam borat. Setelah bersih, mata kiri diberikan pilokarpin
sedangkan mata kanan diberikan physostigmin dan diamati perubahannya, interval
10 menit dibersihkan dengan asam borat. Kedua mata kelinci kedua dibersihkan
dengan asam borat beberapa tetes menggunakan pipet tetes. Setelah bersih mata
kanan kelinci diberikan physostigmin sedangkan mata kirir diberikan pilokarpin
dan diamati perubahan pupil, interval 10 menit kemudian dinetralkan dengan asam
borat. Setelah kedua mata kelinci bersih, kedua mata kelinci tersebut diberikan
atropin dan diamati perubahan pupilnya, interval 10 menit dinetralkan kembali
dengan asam borat. Setelah bersih mata kiri diberikan physostigmin sedangkan
mata kanan diberikan pilokarpin dan diamati perubahannya, interval 10 menit
dibersihkan dengan asam borat.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik utama sistem saraf otonom adalah kemampuan memengaruhi yang
sangat cepat (misal: dalam beberapa detik saja denyut jantung dapat meningkat
hampir dua kali semula, demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan detik,
berkeringat yang dapat terlihat setelah dipicu dalam beberapa detik, juga
pengosongan kandung kemih).Sifat ini menjadikan sistem saraf otonom tepat untuk
melakukan pengendalian terhadap homeostasis mengingat gangguan terhadap
homeostasis dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh manusia. Dengan demikian,
sistem saraf otonom merupakan komponen dari refleks visceral (Guyton, 2006).
Di dalam sistem saraf otonom terdapat obat otonom. Obat otonom adalah
obat yang bekerja pada berbagai bagaian susunan saraf otonom, mulai dari sel
saraf sampai dengan sel efektor. Banyak obat dapat mempengaruhi organ otonom,
tetapi obat otonom mempengaruhinya secara spesifik dan bekerja pada dosis
kecil. Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan
saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau
penguraian neurohormon tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik (Pearce,
2002).
Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat pada
sistem saraf otonom digolongkan menjadi :
A. Obat yang berkhasiat terhadap saraf
simpatik diantaranya sebagai berikut: ·
v Simpatomimetik atau adrenergik,
yaitu obat yang meniru efek perangsangan dari saraf simpatik (oleh
noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan lain-lain.
v Simpatolitik atau adrenolitik, yaitu
obat yang meniru efek bila saraf parasimpatik ditekan atau melawan efek
adrenergik, contohnya alkaloida sekale, propanolol, dan lain-lain.
B. Obat yang berkhasiat terhadap saraf
parasimpatik, yang diantaranya sebagai berikut
v Parasimpatomimetik atau kolinergik,
yaitu obat yang meniru perangsangan dari saraf parasimpatik oleh asetilkolin,
contohnya pilokarpin dan phisostigmin.
v Parasimpatolitik atau
antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf parasimpatik ditekan atau
melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida belladonna (Pearce, 2002).
Obat adrenergik merupakan obat yang memiliki efek yang
ditimbulkankannya mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek neurotransmitor
epinefrin (yang disebut adrenalin) dari susunan sistem saraf sistematis. Kerja
obat adrenergik dapat dibagi dalam 7 jenis, yaitu :
a. Perangsang perifer terhadap otot
polos pembuluh darah kulit dan mukosa dan terhadap kelenjar liur dan keringat
b. Penghambat perifer terhadap otot
polos usus, bronkus, dan pembuluh darah otot rangka
c. Perangsang jantung, dengan akibat
peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi
d. Perangsang Sistem saluran pernapasan
e. Efek metabolik, misalnya peningkatan
glikogenilisis dihati dan otot dan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan
lemak.
f. Efek endokrin, misalnya mempengaruhi
sekresi insulin, rennin dan hormon hipofisis
g. Efek prasinaptik, dengan akibat
hambatan atau peningkatan pelepasan neurotransmitor (Haritsah, 2011).
Kolenergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat
menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi susunan parasimpatis, karena
melepaskan neurohormonasetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas utama
susunan parasimpatis adalah mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat
penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron susunan parasimpatis
dirangsang, timbulah sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur.
Efek kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan
dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah
lambung (HCl), juga sekresi air mata, memperkuat sirkulasi, antara lain dengan
mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan
darah,memperlambat pernafasan, antara lain dengan menciutkan bronchi, sedangkan
sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot mata dengan efek penyempitan
pupil (miosis) dan menurunnya
tekanan intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung
kemih dan ureter denganefek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh
dan kotraksi otot kerangka, menekanSSP setelah pada permulaan menstimulasinya,
dan lain-lain. (Tan dan Rahardja, 2002).
Reseptor kolinergika terdapat dalam semua ganglia, sinaps, dan neuron
postganglioner dari SP, juga pelat-pelat ujung motoris dan di bagian Susunan
Saraf Pusat yang disebut sistem ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya terhadap
perangsangan, reseptor ini dapat dibagi menjadi 2 bagian, yakni:
1. Reseptor
Muskarinik
Reseptor ini,
selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin, yaitu suatu
alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor
muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah terhadap nikotin. Dengan menggunakan
study ikatan dan panghambat tertentu, maka telah ditemukan beberapa subklas
reseptor muskarinik seperti M1, M2, M3, M4, M5. Reseptor muskarinik dijumpai
dalam ganglia sistem saraf tepi dan organ efektor otonom, seperti jantung, otot
polos, otak dan kelenjar eksokrin. Secara khusus walaupun kelima subtipe
reseptor muskarinik terdapat dalam neuron, namun reseptor M1 ditemukan
pula dalam sel parietal lambung, dan reseptor M2 terdapat dalam otot polos
dan jantung, dan reseptor M3 dalam kelenjar eksokrin dan otot polos.
Obat-obat yang bekerja muskarinik lebih peka dalam memacu reseptor muskarinik
dalam jaringan tadi, tetapi dalam kadar tinggi mungkin memacu reseptor
nikotinik pula (Aprilia, 2010).
2. Reseptor
Nikotinik
Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal nikotin,
tetapi afinitas lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu
reseptor nikotinik, namun setelah itu akan menyekat reseptor itu sendiri.
Reseptor nikotinik ini terdapat di dalam sistem saraf pusat, medula adrenalis,
ganglia otonom, dan sambungan neuromuskular. Obat-obat yang bekerja nikotinik
akan memacu reseptor nikotinik yang terdapat di jaringan tadi. Reseptor
nikotinik pada ganglia otonom berbeda dengan reseptor yang terdapat pada
sambungan neuromuskulular. Sebagai contoh, reseptor ganglionik secara selektif
dihambat oleh heksametonium, sedangkan reseptor pada sambungan neuromuskular
secara spesifik dihambat oleh turbokurarin
(Mycek, 2001).
Salah satu kolinergika yang sering digunakan dalam pengobatan glaukoma
adalah pilokarpin. Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier dan stabil
dari hidrolisis oleh asetilkolenesterase. Dibandingkan dengan asetilkolin dan
turunannya, senyawa ini ternyata sangat lemah. Pilokarpin menunjukkan aktivitas
muskarinik dan terutama digunakan untuk oftamologi. Penggunaan topikal pada
kornea dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan kontraksi otot siliaris. Pada
mata akan terjadi suatu spasme akomodasi, dan penglihatan akan terpaku pada
jarak tertentu, sehingga sulit untuk memfokus suatu objek (Aprilia, 2010).
Pilokarpin juga merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat
pada kelenjar keringat, air mata, dan saliva, tetapi obat ini tidak
digunakan untuk maksud demikian.Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan
gawat yang dapat menurunkan tekanan bolamata baik glaukoma bersudut sempit
maupun bersudut lebar. Obat ini sangat efektif untuk membuka anyaman
trabekular di sekitar kanal Schlemm, sehingga tekanan bola mata turundengan
segera akibat cairan humor keluar dengan lancar. Kerjanya ini dapat
berlangsungsekitar sehari dan dapat diulang kembali. Obat penyekat
kolinesterase, seperti isoflurofatdan ekotiofat, bekerja lebih lama lagi.
Disamping kemampuannya dalam mengobatiglaukoma, pilokarpin juga mempunyai efek
samping. Dimana pilokarpin dapat mencapaiotak dan menimbulkan gangguan SSP.
Obat ini merangsang keringat dan salivasi yangberlebihan (Mycek, 2001).
Atropin merupakan obat yang digolongkan sebagai antikolinergik atau
simpatomimetik. Atropin
termasuk dalam alkaloid beladona, yang bekerja memblokade asetilkolin endogen
maupun eksogen. Atropin bekerja sebagai antidotum dari pilokarpin. Efek atropin
pada saluran cerna yaitu mengurangi sekresi liur, sehingga pemberian atropin ini dilakukan agar produksi
saliva menurun karena mukosa mulut mencit menjadi kering (serostomia).
Atropin, seperti agen antimuskarinik lainnya, yang secara
kompetitif dapat menghambat asetilkolin atau stimulan kolinergik
lain pada neuroefektor parasimpatik postganglionik, kelenjar
sekresi dan sistem syaraf pusat, meningkatkan output jantung,
mengeringkan sekresi, juga mengantagonis histamin dan serotonin. Pada dosis
rendah atropin dapat menghambat salivasi. Hal ini dikarenakan kelenjar
saliva yang sangat peka terhadap atropin.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Mencit yang disuntik SC dengan atropin 1%.
Waktu
(menit)
|
Dosis
(ml)
|
Aktivitas
tubuh
|
Refleks
|
Urinasi/defekasi/
salivasi
|
Rambut
|
Frek. nafas
|
Frek. Jantung
|
Konvulsi
|
0
|
normal
|
+++
|
+++
|
-/-/-
|
-
|
148
|
168
|
-
|
3
|
0,05
|
+++
|
+++
|
-/-/-
|
+
|
184
|
208
|
-
|
6
|
0,1
|
+++
|
+++
|
-/+/+
|
+
|
192
|
224
|
-
|
9
|
0,2
|
+++
|
+++
|
-/-/+
|
+
|
208
|
232
|
-
|
12
|
0,4
|
+++
|
+++
|
-/+/+
|
+
|
224
|
236
|
-
|
15
|
0,8
|
+
|
+
|
-/-/+
|
+
|
200
|
208
|
+
|
18
|
1,6
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+(mati)
|
Ket : (+) =
sedikit, (++) = sedang, (+++) = banyak, (-) = tidak ada
Menurut Ganiswara et al. 1995,
atropin merupakan parasimpatolitik (antikholinergik). Semua antikolinergik
adalah antagonis kompetitif untuk pengikatan asetilkolin pada reseptor
muskarinik. Pemberian atropin memberikan efek yang sama dengan efek simpatis.
Hal tersebut dikarenakan atropin merupakan obat yang tergolong
parasimpatolitik (antikolinergik), yang memiliki efek menghambat efek
parasimpatis. Penginjeksian atropine 1% dengan dosis bertingkat setiap lima
menit sekali kepada mencit menimbulkan reaksi yang khas, yaitu rambut berdiri,
peningkatan frekuensi napas dan jantung, serta adanya defekasi dan urinasi
dengan frekuensi yang cukup sering. Rambut mulai berdiri sejak pemberian dosis
pertama yaitu 0.05 ml, defekasi dan urinasi terjadi sejak pemberian dosis 0.1
ml, sedangkan peningkatan frekuensi napas dan jantung terjadi sejak pemberian
dosis pertama yaitu 0.05 ml. Tidak terjadi konvulsi dan perubahan terhadap
aktivitas tubuh serta reflex. Namun pada menit ke dua puluh dengan pemberian
dosis 0.8 ml, aktivitas tubuh dan reflex menurun drastic, frekuensi defekasi
dan urinasi juga berkurang, begitu juga dengan frekuensi napas dan jantung yang
menurun. Konvulsi mulai terjadi, rambut masih tetap berhenti, dan semuanya
terhenti setelah pemberian dosis 1.6 pada menit ke 25. Tidak lama setelah
pemberian dosis terakhir tersebut, mencit mati.
Hasil yang diperoleh di atas sesuai dengan sifat dari atropine yaitu
parasimpatolitik. Menurut Robensthok et al 2002, reaksi toksik dari atropin
berasal dari sifat antikolinergiknya yang bermanifestasi pada sentral dan
perifer. Toksisitas atropin dapat bersifat lokal dan sistemik. Reaksi lokal
ditandai dengan keringnya periorbital dan mata memerah. Reaksi sistemik
meliputi tachycardia (peningkatan
frekuensi jantung), tachypnoea (peningkatan
frekuensi napas), dan stimulasi
sistem saraf pusat yang ditandai dengan rasa letih, bingung, delirium dan
kejang. Pada kejadian parah, stimulasi system saraf pusat dapat menyebabkan
depresi, koma, kegagalan sirkulasi dan pernapasan, dan kematian.
Tabel 2. Mencit yang disuntik SC dengan pilokarpin
Waktu (menit)
|
Dosis (ml)
|
Aktivitas tubuh
|
Refleks
|
Salivasi/defekasi/urinasi
|
Rambut
|
Frek. napas
|
Frek. jantung
|
Konvulsi
|
0
|
normal
|
+++
|
+++
|
-/-/-
|
-
|
160
|
252
|
-
|
0
|
0.05
|
+++
|
+++
|
-/+/-
|
-
|
140
|
212
|
-
|
3
|
0.1
|
+
|
+
|
-/+/+
|
-
|
132
|
200
|
-
|
6
|
0.2
|
+
|
+
|
-/-/-
|
-
|
132
|
184
|
|
9
|
0.4
|
+
|
-
|
-/-/-
|
-
|
192
|
220
|
-
|
12
|
0.8
|
+++
|
-
|
-/-/+
|
-
|
140
|
300
|
+
|
15
|
1.6
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
++
|
Ket : (+) =
sedikit, (++) = sedang, (+++) = banyak, (-) = tidak ada
Tabel
3. Percobaan terhadap mata kelinci
Perlakuan
|
Keadaan
Mata
seharsnya
|
Perubahan
Pupil
|
Keadaan
pupil mata kelinci
|
|
Mata
kanan (cm)
|
Mata
kiri (cm)
|
|||
Asam borat
|
Normal
|
0.7
|
0.8
|
Sesuai(kiri-kanan)
|
Epineprin
|
Membesar
|
1.0
|
1.0
|
Sesuai(kiri-kanan)
|
Asam borat
|
Normal
|
0.8
|
0.9
|
Sesuai(kiri-kanan)
|
Atropin
|
Membesar
|
1.0
|
1.0
|
Sesuai(kiri-kanan)
|
Asam borat
|
Normal
|
0.9
|
0.8
|
Tidak sesuai(kiri-kanan)
|
Pilokarpin
|
Mengecil
|
0.7
|
0.7
|
Sesuai(kiri-kanan)
|
Atropin
|
Membesar
|
1.0
|
1.0
|
Sesuai(kiri-kanan)
|
Percobaan pemberian sediaan obat sistem syaraf otonom (SSO) pada kelinci,
dilakukan pemberian beberapa sediaan meliputi asam borat, atropin, pilokarpin dan adrenalin. Asam borat
merupakan sediaan antiseptika untuk mata, sediaan yang dapat memusnahkan
kuman-kuman pada selaput lendir mata. Pada praktikum ini, asam borat juga digunakan
sebagai penetral kembali mata setelah diberikan berbagai sediaan.
Perlakuan pertama dilakukan dengan
memberikan asam borat pada kedua mata kelinci untuk mengkondisikan mata agar
dalam keadaan normal. Setelah diteteskan asam borat dan ditunggu beberapa saat,
mata kiri kelinci diteteskan adrenalin. Hasilnya, diameter pupil mata kiri
kelinci tampak membesar. Selanjutnya mata kelinci kembali diteteskan asam borat
untuk mengembalikan kondisi mata agar diameter pupil kembali ke keadaan normal.
Membesarnya pupil mata setalah diberikan sediaan adrenalin menunjukkan bahwa
adrenalin memiliki efek menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan
syaraf simpatis. Efek simpatis dapat menyebabkan efek midriasis (melebarkan)
pupil mata (Heryati dan Faizah 2008). Hal tersebut menunjukkan bahwa adrenalin
merupakan sediaan simpatomimetika (Kee dan Hayes 1993).
Perlakuan kedua dilakukan dengan
memberikan sediaan atropin pada mata kanan yang sebelumya sudah diberikan
sediaan asam borat untuk menetralkan kondisi mata. Hasilnya, diameter pupil
mata kanan kelinci tampak membesar. Namun, pembesaran yang terjadi tidak
sebesar pembesaran pada waktu mata diberi sediaan adrenalin. Selanjutnya mata
kelinci kembali diteteskan asam borat untuk mengembalikan kondisi mata agar
diameter pupil kembali ke keadaan normal. Membesarnya pupil mata setalah
diberikan sediaan adrenalin menunjukkan bahwa atropin memiliki efek menghambat
syaraf parasimpatis. Efek parasimpatis dapat menyebabkan efek miosis
(mengecilkan) pupil mata (Heryati dan Faizah 2008). Hal tersebut menunjukkan
bahwa atropin merupakan sediaan parasimpatolitika (Kee dan Hayes 1993), karena
memiliki fungsi menghambat efek parasimpatis.
Perlakuan ketiga dilakukan dengan
memberikan sediaan pilokarpin pada mata kiri yang sebelumya sudah diberikan
sediaan asam borat untuk menetralkan kondisi mata. Hasilnya, diameter pupil
mata kiri kelinci tampak mengecil. Selanjutnya mata kelinci kembali diteteskan
asam borat untuk mengembalikan kondisi mata agar diameter pupil kembali ke keadaan
normal. Mengecilnya pupil mata setalah diberikan sediaan pilokarpin menunjukkan
bahwa sediaan tersebut memiliki efek menyerupai efek yang ditimbulkan oleh
aktivitas susunan syaraf parasimpatis. Efek parasimpatis dapat menyebabkan efek
miosis (mengecilkan) pupil mata (Heryati dan Faizah 2008). Hal tersebut
menunjukkan bahwa pilokarpin merupakan sediaan parasimpatomimetika (Kee dan
Hayes 1993).
KESIMPULAN
Sistem saraf otonom meliputi saraf simpatik dan saraf parasimpatik.
Atropin digunakan sebagai obat simpatomimetik (antikolinergik) yang memiliki
aktivitas menginhibisi salivasi. Sedangkan pilokarpin digunakan sebagai obat
parasimpatomimetik (kolinergik) yang memiliki aktivitas menstimulasi salivasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Aprilia, Dwi.2010.Obat Kolinergik&Antikolinergik.Available
Online athttp://www.scribd.com/doc/44889033/Obat-Kolinergik-Antikolinergik.Diaksespadatanggal
[15 Mei 2016]
Ganiswara SG, et al. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta (ID):
Gaya Baru.
Guyton, A. C. 2006. Textbook of medical
physiology 11th edition.Elsevier Inc.
Philadelphia.
Haritsah, S. 2011. TinjauanPustakaObatAdrenergik.
Available online athttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26908/4/Chapter%20II.pdf[diakses tanggal 15 Mei 2016]
Heryati E dan
Faizah N. 2008. Diktat Kuliah Psikologi
Faal. Bandung(ID): Fakultas
Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia.
Kee JL dan Hayes
ER.1993. Farmakologi. Jakarta(ID):
EGC.
Mycek, J. M. 2001.
FarmakologiUlasanBergambarEdisi ke-2.PT Elex Media
KomputindoKelompok Gramedia. Jakarta.
Pearce, Evelyn
C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk
Paramedis. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.
Robensthok E. 2002. Adverse Reaction to Atropine and
the Treatment of Organophosphate Intoxication. IMAJ (4): 535
Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya. 2009. Kumpulan Kuliah Farmakologi.
Jakarta (ID) : Kedokteran EGC.
Tan Hoan Tjay. 2002. Obat-obat
Penting, Khasiat, Penggunaan Dan Efek-Efek Sampingnya. Jakarta (ID) : PT.
Gramedia Pusaka Utama.
Tan, H. T. danRahardja. 2002. Obat-ObatPenting.
GramediaPustakaUmum. Jakarta.
Tan, H. T. dan
Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting.
Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.
JOIN NOW !!!
ReplyDeleteDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.name
dewa-lotto.com