Theileria Pada Sapi
1.PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan merupakan salah satu faktor penting bagi
hewan yang digunakan sebagai penghasil susu. Gangguan kesehatan pada kerbau
perah secara langsung akan mempengaruhi produksi susu kerbau. Salah satu
penyakit ternak yang sering menyerang kerbau perah adalah parasit darah,
seperti Anaplasma sp., Theileria sp, dan Babesia sp.
Kerbau perah yang terserang parasit darah akan mengalami penurunan produksi.
Keberadaan parasit darah dalam tubuh kerbau akan menimbulkan kerusakan terhadap
sel darah dan organ-organ tubuh kerbau, hal tersebut akan mempengaruhi kondisi
tubuh kerbau untuk menghasilkan susu. Penyebaran parasit darah Anaplasma sp.,
Theileria sp, dan Babesia sp. dipengaruhi oleh keberadaan caplak
(Zajac dan Conboy 2013) dan kondisi geografis, iklim, manajemen peternakan,
serta sosial ekonomi di daerah tersebut (Ardhiyanto 2015).Berdasarkan hasil penelitian Nasution (2007), Babesia
sp., Theileria sp. dan Anaplasma sp. banyak terlihat pada
ternak yang berumur produktif (dewasa) yaitu umur antara 1-2 tahun.
Theileria merupakan
satu-satunya patogen eukariotik yang dapat menginvasi limfosit yang selanjutnya
menginduksi limfoma (Roos 2005).Infeksi Theileriadiperantarai
oleh Rhipichepalus, Hyalomma, Amblyomma dan Haemaphysalis (Urquhart
et al. 2003). Selain menginfeksi kerbau perah, Theileria juga dapat menginfeksi sapi. Billiow (2005) menyatakan
bahwa Theileria yang menginfeksi sapi adalah T. annulata, T. parva,
T. mutans, T. sergenti, T. taurotragi dan T. velifera. Menurut Kelles et
al. (2001,)Infeksi Theilleria
menyebabkan kelemahan, berat badan turun, anoreksia, suhu tubuh tinggi,
ptekhi pada mukosa konjungtiva, pembengkakan nodus limfatikus, anemia dan
batuk. Sedangkan infeksi pada stadium lanjut menyebabkan hewan tidak dapat
berdiri, suhu tubuh dibawah normal (T<38,5ºC), ikterus, dehidrasi, dan
kadang ditemukan darah di feses.Osman dan Al-Gabaary (2007) menambahkan kerbau
yang terinfeksi Theileria sp. akan mengalami penurunan jumlah sel darah
putih. Menurut penelitian Mahmmod et al. (2011) kerbau yang diinfeksi T.
annulata. akan mengalami penurunan jumlah total leukosit secara signifikan
dari 9.1±0.4 × 103/μL berkurang menjadi 5.0±0.3 × 103/mL .
1.2 Tujuan
Tujuan makalah
ini adalah mengetahui secara jelas tentang Theileris pada sapi yang merupakan
penyakit dalam hal epidemiologi, siklus hidup, patogenesa, diagnosa, serta
pencegahan dan pengobatan yang dapat dilakukan.
2.
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi
Theileria sp berdasarkan Bishop et al. (2004) sebagai berikut :
Filum : Apicomplexa
Kelas : Sporozoea
Subkelas : Coccidia
Superordo : Eucoccidea
Ordo : Haemosporidia
Subordo : Aconoidia
Famili : Piroplasmidae
Genus : Theileria
Gambar
8. Theileria sp. (Taylor et al. 2007)
Theileria sp.
merupakan parasit darah yang menyebabkan Theileriosis pada hewan ternak. Theileria
sp. masuk dalam ordo Haemosporidia. Morfologi Theileria sp.
berbentuk bulat, koma dan berbentuk kumparan dengan ukuran 0.5 sampai 1 μm.
Mikroorganisme ini terdapat pada sel darah merah dan limfosit (Zajac dan Conboy
2013) Spesies Theileria sp. yang patogen adalah T. parva. dan T.
annulata.., sedangkan spesies yang tidak patogen adalah T. mutans. Vektor
parasit ini adalah Rhipichepalus, Hyalomma, Amblomma, dan Haemaphysalis
(Urquhart et al. 2003).
Siklus hidup Theileria sp.
fase aseksual terjadi di tubuh inang. Fase aseksual terdiri atas stadium
skizogoni dan merogoni. Stadium skizogoni dan merogoni terjadi di limfosit,
setelah stadium merogoni akan menjadi piroplasma-piroplasma yang dapat
menginfeksi sel darah merah. Fase seksual terjadi di dalam tubuh caplak yang
terdiri atas stadium gametogoni dan sporogoni (Taylor et al. 2007)
4.PEMBAHASAN
Prevalensi Theileria
sp. pada sapi di Indonesia masih belum banyak diketahui. Theileriosis pada sapi
di Indonesia pertama kali ditemukan di Pulau Jawa pada tahun 1912 dan agen
penyebabnya mula-mula diduga T. mutans. Prevalensi T. Orientalis pada sapi
dilaporkan sebesar 30,8% dengan tingkat parasitemia ≤ 1% pada 6 kabupaten di
Kalimantan Selatan. Berdasarkan pemeriksaan spesimen yang masuk ke Balai
Penyidikan Penyakit Hewan (BPPH) Wilayah I Medan Sumatera Utara pada 10
kabupaten tahun 1995 maka prevalensi atau kejadian theileriosis sebesar 1,3%
lebih rendah dibandingkan prevalensi Daerah Istimewa Aceh yaitu sebesar 4,3%.
Pada tahun 1996 kejadian theileriosis di Sumatera Utara meningkat menjadi
sebesar 3,8% sedangkan di Propinsi DI.Aceh menurun menjadi sebesar 0,4%.
Prevalensi rata-rata T. orientalis pada sapi perah Friesian Holstein (FH)
laktasi di Kabupaten Bogor dan Cianjur adalah sebesar 31,2% (Silitonga 2009).
Theileriosis secara
alami hanya dapat ditularkan oleh caplak secara stage to stage, tanpa ada
penularan transovarial karena parasit ini tidak dapat hidup dalam caplak lebih lama
dari satu kali ekdisis (penyilihan). Theileria parva dan T. annulata disebarkan
oleh caplak. Vektor penting untuk T. parva adalah R. appendiculatus. R.
zembeziensis di Afrika Selatan dan R. duttoni di Angola juga dapat menyebarkan
ECF, sedangkan T. annulata ditularkan melalui caplak genus Hyalomma (Siegel et
al. 2006).
Mekanisme infeksi
Theileria sp. pada larva caplak dimulai dari terjadinya perubahan bentuk
piroplasma menjadi mikrogamon, mikrogamet, makrogamet, zigot dan kinet di dalam
usus, sampai ditemukannya sporozoit dalam kelenjar ludah caplak. Terjadinya
infeksi piroplasma pada caplak dimulai sejak larva caplak menghisap darah inang
terinfeksi, dan setelah kenyang larva akan jatuh ke tanah. Setelah larva jatuh
ke tanah, 10 jam kemudian di dalam isi ususnya ditemukan merozoit, baik di
dalam maupun di luar eritrosit terinfeksi. Dalam waktu 24 jam sebagian besar
eritrosit hancur, dan di dalam usus nimfa ditemukan merozoit dalam berbagai
bentuk, yakni bentuk bundar seperti koma dan bentuk kumparan dengan ukuran
antara 1 sampai 2,5 μm. Sekitar 24 sampai 48 jam kemudian, merozoit mengalami
perubahan bentuk menjadi seperti cincin yang berukuran 1-2 μm, dengan
sitoplasma bersifat basofilik. Dalam waktu 48-72 jam bentuk cincin berubah
menjadi makrogamet, yaitu berbentuk bundar dan lonjong berukuran 3-4 μm dengan
inti bersifat eosinofilik dan sitoplasmanya basofilik. Makrogamet juga
mengalami perubahan bentuk menjadi mikrogamet yaitu seperti kumparan yang
berukuran panjang 5 μm. Setelah 3 sampai 5 hari sejak terinfeksi, di dalam usus
nimfa akan ditemukan zigot yang berbentuk bundar dan lonjong, dengan ukuran 4-5
μm dan sitoplasmanya berwarna biru terang. Pada hari ke-6 post infeksi, jumlah
zigot dalam usus terlihat mulai berkurang dan pada hari ke-8 semua zigot lenyap
dari usus. Pada hari ke-9 di dalam epitel usus nimfa ditemukan protozoa
berbentuk bundar berukuran 4-5 μm dan sitoplasmanya berwarna biru gelap.
Selanjutnya pada hari ke-13, protozoa bundar membentuk kelompok seperti koloni
bakteri pada sitoplasma epitel usus. Kinet terbentuk segera terlihatnya bentuk
zigot dan pada hari ke-50 sporozoit ditemukan pada kelenjar ludah nimfa
(Silitonga 2009).
Sporozoit protozoa
diproduksi oleh kelenjar ludah nimfa atau caplak dewasa kemudian diinokulasi
masuk ke tubuh hewan yang peka pada waktu pemberian pakan. Sporozoit merupakan
bentuk infektif masuk ke dalam tubuh sapi melalui gigitan caplak. Sporozoit
masuk ke inang melalui sistem limfe menuju ke jaringan limfoid terutama
limfonodus dan limpa yang dalam beberapa hari berkembang membentuk badan
berinti banyak yang disebut Skizon (Koch’s body) berada dalam sitoplasma
limfosit, membentuk merozoit. Merozoit bergerak masuk ke dalam eritrosit,
terjadi binary fission di dalam eritrosit. Beberapa merozoit memasuki eritrosit
lain, membentuk fase spherical atau ovoid (gamon). Melalui isapan darah gamon
masuk ke intestinal nimfa caplak membentuk mikrogamon. Mikrogamon 4 inti
membelah menjadi mikrogamet 1 inti kemudian bergabung dengan makrogamet
membentuk zigot. Setelah terlihat zigot maka terbentuk kinet motil dari ovoid
immobile zigot dan masuk ke dalam sel intestinal caplak. Kinet menjadi menonjol
membentuk vakuola. Setelah caplak mengalami rontok (moult) dan menempel ke
inang baru, kinet masuk ke dalam sitoplasma sel kelenjar ludah. Selanjutnya
kinet membentuk sporon muda yang tumbuh dan mengalami pembelahan inti berulang.
Parasit menuju ke dalam sel inang dan dalam sel inang giant, sporon membentuk
ribuan sporozoit. Kemudian disebarkan melalui isapan darah (Siegel et al 2006).
Theileriosis tidak
menular melalui kontak. Kontrol penyakit dapat dilakukan dengan melakukan
kontrol caplak untuk mencegah terjadinya infeksi. Kontrol caplak dapat
dilakukan dengan cara dipping atau spraying pada ternak yang berada di daerah
yang tinggi infestasi caplaknya. Transfer darah antara hewan harus dihindari.
Hewan dapat diproteksi dengan cara vaksinasi. Menurut Bandini (2001), jenis
kelamin tidak mempengaruhi tingkat infeksi parasit. Tingkat stres pada hewan
akan mempermudah infeksi parasit darah, dimana kondisi yang menurun akan
menyebabkan daya tahan dan kekebalan tubuh akan menurun pula, sehingga lebih
rentan terhadap infeksi parasit darah. Oleh karena itu, manajemen kandang yang
baik diperlukan untuk mengurangi tingkat stres pada hewan.
Diagnosa dapat ditegakkan melalui pemeriksaan
mikroskopik sediaan darah tipis dan darah tebal. Hewan harus dicurigai bila
kelenjar-kelenjar limfe sub kutan membengkak. Diagnosa histopatologis dapat
dilakukan apabila ditemukan benda- benda Koch yang merupakan tanda spesifik
yang membedakan theileriasis dari penyakit lainnya. Sebab terdapat berbagai
penyakit lain yang memiliki gejela mirip dengan theileriasis antara lain
anaplasmosis, babesiosis dan salmonellosis, heartwater, haemorrhagic
septicemia, trypanosomiasis. Penegakkan diagnose yang sangat dianjurkan adalah
dengan melakukan fungtie limfe atau kelenjar limfe pada hewan hidup (pada
kelenjar limfe preskapuler atau limfe yang biasanya diantara tulang rusuk 11
dan 12 stinggi tuber coxae) ditusuk dengan jarum suntik tebal, kemudian sedikit
material dihirup dan diwarnai dengan Giemsa(Siegel et al 2006).
Kontrol pada vektor
dapat dilakukan dengan penggunaan akarisida yang tepat dan teratur. Penyakit
pada sapi dapat diatasi dengan pengobatan menggunakan antiprotoza dan
antiricketsia(Anggraini 2013). Menurut Akhter et al (2010) bahwa perlu dilakukan pencegahan infeksi melalui
vaksinasi. Selain itu, diperlukan juga upaya dalam memperbaiki sistem manajemen
ternak untuk menghindari terjadinya infeksi berulang pada ternak. Sistem
penggembalaan intensif dengan ternak dikandangkan terus-menerus adalah yang
paling baik dilakukan, karena dapat mengurangi terjadinya infeksi parasit
darah.
Pengobatan infeksi Theileria sp. adalah dengan
theilericidal yakni senyawa parvaquone dan turunannya (Keles et al 2001).
Efektifitas penggunaan obat tersebut sangat efektif jika digunakan pada stadium
awal munculnya gejala klinis tetapi kurang efektif pada stadium lanjut karena
telah terjadi kerusakan yang lebih luas pada limfoid dan jaringan hematopoietik
(Kahn 2008). Beberapa obat lain seperti parvaquone, buparvaquone dan
halofuginone laktat dapat digunakan untuk pengobatan ECF. Tetrasiklin juga
dapat diberikan tetapi kadang menyebabkan resisten terhadap antibiotika.
Keberhasilan pengobatan sangat ditentukan oleh waktu pemberiannya yaitu pada
awal munculnya gejala klinis.
Umumnya metode
pencegahan theileriosis adalah memberi perlakuan terhadap hewan yang peka.
Hewan diinokulasi sporozoit dengan dosis sangat tinggi, yang diperoleh dari
caplak dan diberikan secara bersamaan dengan salah satu jenis obat
theilericidal. Bila tidak terbentuk proteksi silang (cross protection), maka
inokulum harus berisi berbagai spesies atau strain Theileria. Imunitas yang
terbentuk dari metode ini akan berlangsung kira-kira 3,5 tahun lamanya.
Pengendalian penyakit ini berdasarkan banyak faktor termasuk manajemen, seleksi
kelompok hewan resisten, pengendalian caplak, dan imunisasi (Siegel et al 2006).
5.SIMPULAN
Theileria termasuk
family yang memiliki bentuk bulat,koma dan kumparan dengan alat gerak berupa.
Theileria menyebabkan penyakit Theileriosis yang ditularkan oleh caplak secara stage to stage. Stadim infektif Theileria adalah sprorozoid. Pengobatan
infeksi Theileria sp. adalah dengan
theilericidal yakni senyawa parvaquone dan turunannya. Tetrasiklin juga dapat
diberikan tetapi kadang menyebabkan resisten terhadap antibiotika.
6.DAFTAR
PUSTAKA
Anggrain NF. 2013. Kajian Penyakit Parasit Darah
Pada Sapi Potong Peternakan Rakyat Di Kecamatan Ujungjaya, Kabupaten Sumedang,
Jawa Barat. Skripsi. Bogor(ID):
Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Akhter N, Lal C, Gadahi JA, Mirbahar KB, Memon MI.
2010. Efficacy of Various Antiprotozoal Drugs On Bovine Babesiosis,
Anaplasmosis and Theileriosis. Veterinary
World. 3(6):272-274.
Ardhiyanto
B. 2015. Parasitemia dan diferensial leukosit kerbau perah (bubalus bubalis)
akibat parasit darah di kabupaten Tapanuli Utara Sumatera Utara [Skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Bandini
Y. 2001. Sapi Bali. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Billiow
M. 2005. The epidemiology of bovine theileriosis in the Eastern Province of
Zambia. Laboratorium voor Parasitologie. Faculteit Diergeneeskunde.Universiteit
Gent.
Bishop
R, Musoke A, Morzaria S, Gardner M, Nene V. 2004. Theileria:
intracellular protozoan parasites of wild and domestic ruminants transmitted by
Ixodid ticks. Parasitology. 129: 271–283.
Kahn CM. 2008. The
Merck Veterinary Manual. Ed ke-9. USA:Whitehouse Station. Merck & Co,
Inc.
Keles I, Deger S, Altug N, Karaca M, Akdemir C.
2001. Tick-borne disease in cattle : clinical and haematological findings,
diagnosis, treatment, seasonal distribution, breed, sex and age factors and the
transmitter of the disease. Yyu
Vet.Fak.Derg. 12:26-32.
Levine
ND. 1995. Protozoologi Veteriner. Soekardono S, penerjemah; Brotowidjojo
D, editor. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University. Terjemahan dari: Veterinary
Protozoology.
Mahmmod
YS, Elbalkemy FA, Klaas IC, Elmekkway MF, Monazie AM. 2011. Clinical and
haematology study on water buffaloes (Bubalus bubalis) and crossbred
cattle naturally infected with Theileria annulata in Sharkia Province,
Egypt. Ticks and tick-borne disease.
Nasution
AYA. 2007. Parasit Darah pada Ternak Sapi dan Kambing di Lima Kecamatan, Kota
Jambi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Osman
SA dan Al-Gaabary MH. 2007. Clinical, haematological and therapeutic studies on
tropical theileriosis in water buffaloes (Bubalus bubalis) in Egypt. Veterinary
parasitology. 146: 337–340.
Roos DS. 2005. Themes and Variations in Apicomplexan
Parasite Biology. Science. 309:72-73
Siegel S, Howerth E, Leroy BE. 2006. East Coast
Fever (Theileria parva)-A Review. Veterinary Clinical Pathology Clerkship
Program. Department of Pathology, College of Veterinary Medicine. University of
Geo Athens.
Silitonga RJP.2009.Theileriosis pada Sapi Potong
Impor dari Australia melalui Pelabuhan Tanjung Priok.
Taylor
MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology 3rd ed. Oxford(UK).
Blackwell.
Urquhart
GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM, Jennings FW. 2003. Vet Parasitol. Ed
ke-2. Scotland (GB): Blackwell Pub.
Zajac
AM dan Conboy GA. 2013. Veterinary Clinical Parasitology 8th ed. New
York (US): Willey-Blackwell.
7.LAMPIRAN
Gambar 2 Siklus hidup Theileria sp.
Keterangan
:
1.
Sporozoit 3. Merozoit 6. Gamon. 8.1-8.4 Mikrogamon dengan 4 inti 8.2 mikrogamet
1 inti. 9.
Makrogamet.
10. Zigot. 11-13. Kinete motil 14. sporon muda (Sumber : Mehlhorn, Schein
1984)
JOIN NOW !!!
ReplyDeleteDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.name
dewa-lotto.com