Eimeria Pada Sapi
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia
merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang tinggi. Namun, sampai saat
ini kecukupan gizi di masyarakat Indonesia belum merata. Berbagai upaya telah
dilakukan demi tercukupinya kebutuhan gizi masyarakat khususnya peningkatan
produksi di bidang peternakan. Usaha peningkatan produksi ternak harus
diimbangi dengan manajemen ternak yang baik. Melalui manajemen ternak yang baik
inilah dapat diperoleh produk sapi yang berkualitas tinggi dan mengurangi
penyakit. Sapi perah merupakan salah satu komoditi peternakan yang dapat
mendukung pemenuhan kebutuhan gizi yaitu susu. Masalah yang sering dihadapi
dalam peternakan sapi perah adalah penyakit Penyakit hewan secara umum dapat
disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme diantaranya bakteri, virus dan
parasit. Menurut Kristensen et al. (2008) parasit merupakan masalah utama yang
dapat menyebabkan penurunan bobot badan, pertumbuhan lambat dan kematian. Hal
ini terjadi karena parasit tersebut mengambil nutrisi yang dibutuhkan, memakan
jaringan tubuh, dan menghisap darah inangnya. Salah satu penyakit pada ternak
sapi adalah koksidiosis. Koksidiosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh
protozoa Eimeria spp. yang menyerang sel epitel saluran pencernaan dan
menyebabkan kerusakan jaringan sehingga menghambat pertumbuhan ternak. Gejala
klinis yang disebabkan oleh infeksi Eimeria spp. diantaranya diare, penurunan
berat badan, dehidrasi dan kelelahan (Daugschies dan Najdrowski, 2005).
Keparahan gejala klinis yang timbul tergantung dari jumlah ookista yang tertelan,
jika ookista yang tertelan banyak maka gejala klinis yang ditimbulkan akan
parah (Levine 1985). Kerugian yang ditimbulkan akibat koksidiosis meliputi
mortalitas, penurunan berat badan, nafsu makan menurun, produksi daging turun,
meningkatnya biaya pengobatan, upah tenaga kerja dan lain-lain. Penurunan
produktivitas ternak dapat memberikan dampak negatif bagi peternak, salah
satunya menyebabkan rendahnya nilai atau harga jual ternak.
Tujuan
Tujuan
makalah ini adalah untuk mengetahui secara jelas tentang Eimeria sp.
yang merupakan penyakit padasapi,
dalam hal epidemiologi, siklus hidup, patogenesa, diagnosa, serta pencegahan
dan pengobatan yang dapat dilakukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Prevalensi Eimeria sp
2.2
Transmisi Penyakit
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Patogenesis
Sapi dapat terinfeksi Eimeria
melalui ookista yang telah mengalami sporulasi termakan bersama air minum
atau pakan. Tingkat keparahan tergantung dari jumlah ookista yang termakan
serta faktor umur dan kondisi kekebalan tubuh hewan (Maas 2007). Masa inkubasi
terjadi 17 sampai 30 hari setelah infeksi, sapi terinfeksi kadang menunjukkan
gejala demam (Makau 2014). Secara umum infeksi mengakibatkan gejala subklinis
(Maas 2007).
Sporozoit yang dilepaskan
dalam usus inang akan menyerang sel-sel endotel kapiler limfe bagian vili dari
ileum, dimana mereka meniru, membentuk macroschizon multinuklear, yang berisi
ratusan ribu merozoit generasi pertama (Behrendt 2004). Karena tercerna oleh
enzim pencernaan maka sporozoit aktif dan menyerang sel-sel usus. Reproduksi
aseksual (schizogony) terjadi beberapa kali dan menyerang lapisan usus, diikuti
oleh fase seksual di mana merozoit terlepas dalam bentuk gamet (gametogony).
Microgamet dan macrogamet melebur dan
berkembang menjadi ookista yang akan keluar bersama feses. Di luar tubuh
inang, ookista bersporulasi menjadi bentuk infektif ookista (Ahmad 2008).
3.2 Diagnosa, Pencegahan dan Pengobatan
Diagnosa
Cara mendiagnosa koksidiosis tidak cukup
dengan melihat gejala klinis saja. Hal ini dapat terjadi kekeliruan dengan
gejala klinis dari penyakit intestinal lainnya. Diagnosa koksidiosis umumnya
berdasarkan pada karakteristik morfologio okista, parasitik biologi dan gejala
klinis pada hewan (Mirani et al. 2012).
Pengobatan
Infeksi Eimeria ini dapat
dicegah dengan pemberian obat-obatan golongan sulfa. Sulfadimethoxine adalah
salah satu golongan sulfa yang rendah toksisitasnya dan efektif dalam mengobati
koksidiosis (Saad et al., 2006). Beberapa antikoksidia yang sering digunakan
antara lain adalah sulfaquinoksalin, sulfadimetoksin, kombinasi sulfadimetoksin
dan ormetroprim, klopidol, dekokuinat, amprolium, kombinasi amprolium dan
etopabat, nikarbazin, lasalosid (polieter ionofor), salinomisin, monensin,
maduramisin, diklazuril, dan toltazuril (Tabbu, 2002).
Selain Sulfadimethoxine,
Sulfonamid juga digunakan sebagai pengobatan koksidiosis pada sapi. Sulfonamid
merupakan satu-satunya golongan antibiotik yang diizinkan untuk digunakan
sebagai pengobatan koksidiosis pada sapi di Jerman karena sangat efektif untuk
mengurangi penurunan berat badan dan produksi ookista (Himmelstjerna et al.,
2006). Keuntungan penggunaan sulfonamid adalah dapat berfungsi sebagai antibiotik
dan antikoksidiosis sekaligus dengan cara mencegah terjadinya reproduksi
aseksual pada periode prepaten Eimeria (Daugschies dan Najdrowski, 2005).
Pengobatan koksidiosis dengan menggunakan antibiotik seperti sulfonamid
merupakan pengobatan pro/metafilatik karena memiliki mekanisme pengobatan
dengan cara mencegah terjadinya proses reproduksi parasit pada tahap awal yaitu
tahap merogoni. Pengobatan dengan metode pro/metafilaktik lebih efektif
dibandingkan dengan metode terapetik pada kasus koksidiosis karena dapat
mencegah multiplikasi parasit dan kerusakan mukosa usus akibat infeksi Eimeria
(Mundt et al., 2005; Philippe et al., 2014).
Pencegahan dan Pengendalian
Pengendalian koksidiosis dapat dilakukan
dengan memperhatikan sanitasi kandang, gejala klinis yang ditunjukkan, usaha
pencegahan dan pengobatan. Apabila tingkat sanitasi lingkungan pertanian dan
kontaminasi pakan serta air ternak dapat dijaga dengan baik maka resiko
penularan dapat dikurangi (Grooms 2012).
BAB IV
SIMPULAN
Giardia intestinalis adalah
protozoa parasit flagellata yang menyebabkan Giardiasis atau Lambliasis. Parasit ini mempunyai 2
stadium yaitu stadium trofozoit
dan stadium kista. G.lamblia hidup di
rongga usus kecil, yaitu duodenum dan bagian proksima yeyenum
dan kadang-kadang di saluran dan kandung empedu. Dengan
pergerakan flagel yang cepat trofozoit yang berada
di antara villi usus bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Trofozoit
kemudian berkembangbiak dengan cara belah pasang longitudinal. Trofozoit
yang tidak melekat pada mukosa usus, akan mengikuti
pergerakan peristaltik menuju ke usus bagian distal yaitu usus besar. Cara
infeksi dengan menelan kista matang yang dapat terjadi secara tidak langsung
melalui air dan makanan yang terkontaminasi, atau secara langsung melalui
fecal-oral.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad,
R.Z. 2008. Beberapa Penyakit Parasitik dan Mikotik pada Sapi Perah yang harus
Diwaspadai, Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan
Bebas 2020, Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor.
Behrendt,
J.H. 2004. Alternative Mechanism of Eimeria bovis Sporozoites to Invade
Cells In Vitro by Breaching the Plasma Membrane, The Journal of Parasitology,
Vol. 90, No. 5
Daugschies
A, Najdrowsk M. 2005. Eimeriosis in cattle: current understanding. J Vet
Med. [Internet] [diunduh 2015 Mei 28]; 5(2): 417-427. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16364016.
Grooms,
D. Recommended Pre-est Management : Controling Bovine Coccidiosis. Assoc.
Professor, Dept. of Large Animal Clinical Sciences. (http://beef.msu.edu/LinkClick.aspx?fileticket=UryAl7qoGpQ%3D&tabid=622/
diakses tanggal 7 Juni 2012).
Himmelstjerna,
G.V.S., C. Epe, N. Wirtherle, V.V.D. Heyden, C. Welz, I. Radeloff, J. Beening,
D. Carr, K. Hellmann, T. Schnieder, and K. Krieger. 2006. Clinical and
epidemiological characteristic of Eimeria infections in first-grazing cattle. J.
Vet. Parasitol. 136(3-4):215-221.
Kristensen
EL, Ostergaard S, Krogh MA, Enevoldsen C. 2008. Technical
indicators of financial performance in the dairy herd. J Dairy Sci.
[Internet] [diunduh 2015 Mei 29]; 91: 620-631. Tersedia pada:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18218749.
Levine
N. 1985. Protozoologi Veteriner. Soekardono S, penerjemah; Brotowidjojo MD,
editor. Yogyakarta (ID): UGM Pr.
Maas J. 2007. Coccidiosis in Cattle. Califrn
Cattlms Magz. UCD Vet Views: 1(1).
Mirani
AH, Shah MGU, Mirbahar KB, Khan MS, Lochi GM, Khan IU, Alam F, Hasan SM, Tariq
M. 2012. Prevalence of coccidiosis and other gastointestinal nematode species
in buffalo calves at Hyderabad, Sindh, Pakistan. Afr. J. Microbiol. Res. [internet]
[diunduh 2015 Februari 14]; 6(33) 6291-6294.doi: 10.5897/AJMR12.1030
Mundt,
H.C., B. Bangoura, H. Mengel, J. Keidel, and A. Daugschies. 2005. Control of
clinical coccidiosis of calves due to Eimeria bovis and Eimeria
zuernii with toltrazuril under field conditions. Parasitol. Res. 97(2005):S134-S142.
Philippe,
P., J.P. Alzieu, M.A. Taylor, and P. Dorchies. 2014. Comparative efficacy of
diclazuril (Vecoxan®) and toltrazuril (Baycox bovis®) against natural
infections of Eimeria bovis and Eimeria zuernii in French calves.
J. Vet. Par. 206(2014):129-137.
Saad
MZ, Aini I, Babjee SMA, Arshad SS, Azhar I, Choo PY, Chulan U, Ganapathy K,
Haas MY, Bejo MH, Jasni S, Kono Y, Mahani AH, Noordin MM, Omar AR, Saleha AA,
Sani RA, Sharifah SH, Sohayati AR, Zulkifli I. 2006. Disease of Poultry in
Southeast Asia. Universiti Putra Malaysia Press. Selangor Darul Ehsan.
Malaysia. pp. 31-36.
Tabbu CR. 2002. Penyakit
Ayam dan Penanggulanganya. Vol 2. Yogyakarta (Indones): Penerbit Kanisius. hlm.
3-9.
Comments
Post a Comment