Farmako SSO

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sistem syaraf otonom  (SSO) berdasarkan morfologi dan fungsionalnya dibagi menjadi dua yaitu sistem simpatis dan parasimpatis. Kedua sistem syaraf ini bekerja berlawanan (antagonis). SSO berfungsi memelihara keseimbangan dalam organisme. SSO merupakan saraf-saraf yang  bekerjanya tidak dapat disadari dan bekerja secara otomatis disebut juga otot tak sadar. Sistem saraf otonom terbagi menjadi 2 bagian yaitu sistem saraf simpastis dan saraf parasimpatis. Sistem simpatis terbagi menjadi dua bagian yang terdiri dari saraf otonom cranial dan saraf otonom sacral. Terletak di depan kolumna vertebra dan berhubungan dengan sumsum tulang belakang melalui serabut-serabut saraf.Saraf simpatis berfungsi menginervasi otot jantung, pembuluh darah, otot polos, semua alat dalam seperti lambung, pancreas dan usus, melayani serabut motorik sekretorik pada kelenjar keringat, serabut motorik pada otot tak sadar dalam kulit, serta mempertahankan tonus semua otot sadar. Saraf parasimpatis berfungsi untuk merangsang sekresi kelenjar air mata, kelenjar sublingualis, submandibularis dan kelenjar-kelenjar dalam mukosa rongga hidung, menginervasi kelenjar air mata dan mukosa rongga hidung, kelenjar ludah, parotis, sebagian besar alat tubuh yaitu jantung, paru-paru, GIT, ginjal, pancreas, lien, hepar dan kelenjar suprarenalis, kolon desendens, sigmoid, rectum, vesika urinaria dan alat kelamin, serta berperan dalam proses miksi dan defekasi. Secara anatomis usus, saraf otonom terdiri atas saraf praganglion, ganglion dan pasca ganglion yang mempersarafi selefektor. Serat eferen persarafan otonom terbagi atas system persarafan simpatis dan parasimpatis. Sistem saraf simpatis (Torakolumbal segmen susunan saraf otonom) disalurkan melalui serat torakolumbal 1 sampai lumbal 3. Serat saraf eferennya kemudian berjalan ke ganglion vertebral, pravertebral dan ganglia terminal. Sistem persarafan parasimpatis (segmen kraniosakral susunan saraf otonom) disalurkan melalui beberapa saraf cranial yaitu N III, N.VII, N.IX, N.X dan serat saraf yang berasal dari sakral 3 dan 4.
Tujuan
Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui prinsip kerja dari obat sistem syaraf otonom (simpatomemetik, parasimpatomemetik, parasimpatolitik) dan gejala klinis yang menyertainya.

METODOLOGI
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah spoid 1 ml, pipet tetes dan senter. Bahan yang digunakan yaitu mencit, kelinci, asam borat, pilokarpin, physostigmin, atropin, dan epinefrin.

 Prosedur
Mencit pertama disuntik dengan pilokarpin atau physostigmin 0.05 ml secara SC dengan dosis bertingkat.  Kemudian dilakukan pengamatan pada 5 menit setelah penyuntikan tersebut sampai mencit mengalami sesak nafas, kifosis, dan mati. Mencit kedua disuntik dengan atropin 0.05 ml dosis bertingkat secara subkutan. Kemudian dilakukan pengamatan pada 5 menit setelah penyuntikan tersebut sampai mencit mengalami kematian. Kedua, mata kelinci pertama  dibersihkan dengan asam borat beberapa tetes menggunakan pipet tetes. Setelah bersih kedua mata kelinci diberikan epinefrin dan diamati perubahan pupil, interval 10 menit kemudian dinetralkan dengan asam borat. Setelah kedua mata kelinci bersih, kemudian diberikan atropin dan diamati perubahan pupilnya, interval 10 menit dinetralkan kembali dengan asam borat. Setelah bersih, mata kiri diberikan pilokarpin sedangkan mata kanan diberikan physostigmin dan diamati perubahannya, interval 10 menit dibersihkan dengan asam borat. Kedua mata kelinci kedua dibersihkan dengan asam borat beberapa tetes menggunakan pipet tetes. Setelah bersih mata kanan kelinci diberikan physostigmin sedangkan mata kirir diberikan pilokarpin dan diamati perubahan pupil, interval 10 menit kemudian dinetralkan dengan asam borat. Setelah kedua mata kelinci bersih, kedua mata kelinci tersebut diberikan atropin dan diamati perubahan pupilnya, interval 10 menit dinetralkan kembali dengan asam borat. Setelah bersih mata kiri diberikan physostigmin sedangkan mata kanan diberikan pilokarpin dan diamati perubahannya, interval 10 menit dibersihkan dengan asam borat.
TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik utama sistem saraf otonom adalah kemampuan memengaruhi yang sangat cepat (misal: dalam beberapa detik saja denyut jantung dapat meningkat hampir dua kali semula, demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan detik, berkeringat yang dapat terlihat setelah dipicu dalam beberapa detik, juga pengosongan kandung kemih).Sifat ini menjadikan sistem saraf otonom tepat untuk melakukan pengendalian terhadap homeostasis mengingat gangguan terhadap homeostasis dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh manusia. Dengan demikian, sistem saraf otonom merupakan komponen dari refleks visceral (Guyton, 2006).
Di dalam sistem saraf otonom terdapat obat otonom. Obat otonom  adalah obat yang bekerja pada berbagai bagaian susunan saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektor. Banyak obat dapat mempengaruhi organ otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya secara spesifik dan bekerja pada dosis kecil. Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau penguraian neurohormon tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik (Pearce, 2002).
Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat pada sistem saraf otonom digolongkan menjadi : 
A.  Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatik diantaranya sebagai berikut:        ·     
v Simpatomimetik atau adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan dari saraf simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan lain-lain. 
v Simpatolitik atau adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf parasimpatik ditekan atau melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida sekale, propanolol, dan lain-lain. 

B.  Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatik, yang diantaranya sebagai berikut
v Parasimpatomimetik atau kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan dari saraf parasimpatik oleh asetilkolin, contohnya pilokarpin dan phisostigmin.
v Parasimpatolitik atau antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf parasimpatik ditekan atau melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida belladonna (Pearce, 2002).
Obat adrenergik merupakan obat yang memiliki  efek yang ditimbulkankannya mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek neurotransmitor epinefrin (yang disebut adrenalin) dari susunan sistem saraf sistematis. Kerja obat adrenergik dapat dibagi dalam 7 jenis, yaitu :
a.    Perangsang perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa dan terhadap kelenjar liur dan keringat
b.    Penghambat perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah otot rangka
c.    Perangsang jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi
d.   Perangsang Sistem saluran pernapasan
e.    Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenilisis dihati dan otot dan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak.
f.     Efek endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, rennin dan hormon hipofisis
g.    Efek prasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan pelepasan neurotransmitor (Haritsah, 2011).

Kolenergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi susunan parasimpatis, karena melepaskan neurohormonasetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas utama susunan parasimpatis adalah mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron susunan parasimpatis dirangsang, timbulah sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur.
Efek kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (HCl), juga sekresi air mata, memperkuat sirkulasi, antara lain dengan mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah,memperlambat pernafasan, antara lain dengan menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekanan intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung kemih dan ureter denganefek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh dan kotraksi otot kerangka, menekanSSP setelah pada permulaan menstimulasinya, dan lain-lain. (Tan dan Rahardja, 2002).
Reseptor kolinergika terdapat dalam semua ganglia, sinaps, dan neuron postganglioner dari SP, juga pelat-pelat ujung motoris dan di bagian Susunan Saraf Pusat yang disebut sistem ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya terhadap perangsangan, reseptor ini dapat dibagi menjadi 2 bagian, yakni:
1.   Reseptor Muskarinik
Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin, yaitu suatu alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah terhadap nikotin. Dengan menggunakan study ikatan dan panghambat tertentu, maka telah ditemukan beberapa subklas reseptor muskarinik seperti M1, M2, M3, M4, M5. Reseptor muskarinik dijumpai dalam ganglia sistem saraf tepi dan organ efektor otonom, seperti jantung, otot polos, otak dan kelenjar eksokrin. Secara khusus walaupun kelima subtipe reseptor muskarinik terdapat dalam neuron, namun reseptor M1 ditemukan pula dalam sel parietal lambung, dan reseptor M2 terdapat dalam otot polos dan jantung, dan reseptor M3 dalam kelenjar eksokrin dan otot polos. Obat-obat yang bekerja muskarinik lebih peka dalam memacu reseptor muskarinik dalam jaringan tadi, tetapi dalam kadar tinggi mungkin memacu reseptor nikotinik pula (Aprilia, 2010).




2.  Reseptor Nikotinik
Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal nikotin, tetapi afinitas lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu reseptor nikotinik, namun setelah itu akan menyekat reseptor itu sendiri. Reseptor nikotinik ini terdapat di dalam sistem saraf pusat, medula adrenalis, ganglia otonom, dan sambungan neuromuskular. Obat-obat yang bekerja nikotinik akan memacu reseptor nikotinik yang terdapat di jaringan tadi. Reseptor nikotinik pada ganglia otonom berbeda dengan reseptor yang terdapat pada sambungan neuromuskulular. Sebagai contoh, reseptor ganglionik secara selektif dihambat oleh heksametonium, sedangkan reseptor pada sambungan neuromuskular secara spesifik dihambat oleh turbokurarin
(Mycek, 2001).
Salah satu kolinergika yang sering digunakan dalam pengobatan glaukoma adalah pilokarpin. Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier dan stabil dari hidrolisis oleh asetilkolenesterase. Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunannya, senyawa ini ternyata sangat lemah. Pilokarpin menunjukkan aktivitas muskarinik dan terutama digunakan untuk oftamologi. Penggunaan topikal pada kornea dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan kontraksi otot siliaris. Pada mata akan terjadi suatu spasme akomodasi, dan penglihatan akan terpaku pada jarak tertentu, sehingga sulit untuk memfokus suatu objek (Aprilia, 2010).
Pilokarpin juga merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar keringat, air mata, dan saliva, tetapi obat ini tidak digunakan untuk maksud demikian.Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan gawat yang dapat menurunkan tekanan bolamata baik glaukoma bersudut sempit maupun bersudut lebar. Obat ini sangat efektif untuk membuka anyaman trabekular di sekitar kanal Schlemm, sehingga tekanan bola mata turundengan segera akibat cairan humor keluar dengan lancar. Kerjanya ini dapat berlangsungsekitar sehari dan dapat diulang kembali. Obat penyekat kolinesterase, seperti isoflurofatdan ekotiofat, bekerja lebih lama lagi. Disamping kemampuannya dalam mengobatiglaukoma, pilokarpin juga mempunyai efek samping. Dimana pilokarpin dapat mencapaiotak dan menimbulkan gangguan SSP. Obat ini merangsang keringat dan salivasi yangberlebihan (Mycek, 2001).
Atropin merupakan obat yang digolongkan sebagai antikolinergik atau simpatomimetik. Atropin termasuk dalam alkaloid beladona, yang bekerja memblokade asetilkolin endogen maupun eksogen. Atropin bekerja sebagai antidotum dari pilokarpin. Efek atropin pada saluran cerna yaitu mengurangi sekresi liur, sehingga pemberian atropin ini dilakukan agar produksi saliva menurun karena mukosa mulut mencit menjadi kering (serostomia). Atropin, seperti agen antimuskarinik lainnya, yang secara kompetitif dapat menghambat asetilkolin atau stimulan kolinergik lain pada neuroefektor parasimpatik postganglionik, kelenjar sekresi dan sistem syaraf pusat, meningkatkan output jantung, mengeringkan sekresi, juga mengantagonis histamin dan serotonin. Pada dosis rendah atropin dapat menghambat salivasi. Hal ini dikarenakan kelenjar saliva yang sangat peka terhadap atropin.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Mencit yang disuntik SC dengan atropin 1%.
Waktu
(menit)
Dosis
(ml)
Aktivitas
tubuh
Refleks
Urinasi/defekasi/
salivasi
Rambut
Frek. nafas
Frek. Jantung
Konvulsi
0
normal
+++
+++
-/-/-
-
148
168
-
3
0,05
+++
+++
-/-/-
+
184
208
-
6
0,1
+++
+++
-/+/+
+
192
224
-
9
0,2
+++
+++
-/-/+
+
208
232
-
12
0,4
+++
+++
-/+/+
+
224
236
-
15
0,8
+
+
-/-/+
+
200
208
+
18
1,6
-
-
-
-
-
-
+(mati)
Ket : (+) = sedikit, (++) = sedang, (+++) = banyak, (-) = tidak ada

Menurut Ganiswara et al. 1995, atropin merupakan parasimpatolitik (antikholinergik). Semua antikolinergik adalah antagonis kompetitif untuk pengikatan asetilkolin pada reseptor muskarinik. Pemberian atropin memberikan efek yang sama dengan efek simpatis.
Hal tersebut dikarenakan atropin merupakan obat yang tergolong parasimpatolitik (antikolinergik), yang memiliki efek menghambat efek parasimpatis. Penginjeksian atropine 1% dengan dosis bertingkat setiap lima menit sekali kepada mencit menimbulkan reaksi yang khas, yaitu rambut berdiri, peningkatan frekuensi napas dan jantung, serta adanya defekasi dan urinasi dengan frekuensi yang cukup sering. Rambut mulai berdiri sejak pemberian dosis pertama yaitu 0.05 ml, defekasi dan urinasi terjadi sejak pemberian dosis 0.1 ml, sedangkan peningkatan frekuensi napas dan jantung terjadi sejak pemberian dosis pertama yaitu 0.05 ml. Tidak terjadi konvulsi dan perubahan terhadap aktivitas tubuh serta reflex. Namun pada menit ke dua puluh dengan pemberian dosis 0.8 ml, aktivitas tubuh dan reflex menurun drastic, frekuensi defekasi dan urinasi juga berkurang, begitu juga dengan frekuensi napas dan jantung yang menurun. Konvulsi mulai terjadi, rambut masih tetap berhenti, dan semuanya terhenti setelah pemberian dosis 1.6 pada menit ke 25. Tidak lama setelah pemberian dosis terakhir tersebut, mencit mati.
Hasil yang diperoleh di atas sesuai dengan sifat dari atropine yaitu parasimpatolitik. Menurut Robensthok et al 2002, reaksi toksik dari atropin berasal dari sifat antikolinergiknya yang bermanifestasi pada sentral dan perifer. Toksisitas atropin dapat bersifat lokal dan sistemik. Reaksi lokal ditandai dengan keringnya periorbital dan mata memerah. Reaksi sistemik meliputi tachycardia (peningkatan frekuensi jantung), tachypnoea (peningkatan frekuensi napas), dan stimulasi sistem saraf pusat yang ditandai dengan rasa letih, bingung, delirium dan kejang. Pada kejadian parah, stimulasi system saraf pusat dapat menyebabkan depresi, koma, kegagalan sirkulasi dan pernapasan, dan kematian.
Tabel 2. Mencit yang disuntik SC dengan pilokarpin
Waktu (menit)
Dosis (ml)
Aktivitas tubuh
Refleks
Salivasi/defekasi/urinasi
Rambut
Frek. napas
Frek. jantung
Konvulsi
0
normal
+++
+++
-/-/-
-
160
252
-
0
0.05
+++
+++
-/+/-
-
140
212
-
3
0.1
+
+
-/+/+
-
132
200
-
6
0.2
+
+
-/-/-
-
132
184

9
0.4
+
-
-/-/-
-
192
220
-
12
0.8
+++
-
-/-/+
-
140
300
+
15
1.6
-
-
-
-
-
-
++
Ket : (+) = sedikit, (++) = sedang, (+++) = banyak, (-) = tidak ada

Tabel 3. Percobaan terhadap mata kelinci
Perlakuan
Keadaan Mata
seharsnya
Perubahan Pupil
Keadaan pupil mata kelinci
Mata kanan (cm)
Mata kiri (cm)
Asam borat
Normal
0.7
0.8
Sesuai(kiri-kanan)
Epineprin
Membesar
1.0
1.0
Sesuai(kiri-kanan)
Asam borat
Normal
0.8
0.9
Sesuai(kiri-kanan)
Atropin
Membesar
1.0
1.0
Sesuai(kiri-kanan)
Asam borat
Normal
0.9
0.8
Tidak sesuai(kiri-kanan)
Pilokarpin
Mengecil
0.7
0.7
Sesuai(kiri-kanan)
Atropin
Membesar
1.0
1.0
Sesuai(kiri-kanan)

Percobaan pemberian sediaan obat sistem syaraf otonom (SSO) pada kelinci, dilakukan pemberian beberapa sediaan meliputi asam borat,  atropin, pilokarpin dan adrenalin. Asam borat merupakan sediaan antiseptika untuk mata, sediaan yang dapat memusnahkan kuman-kuman pada selaput lendir mata. Pada praktikum ini, asam borat juga digunakan sebagai penetral kembali mata setelah diberikan berbagai sediaan.
            Perlakuan pertama dilakukan dengan memberikan asam borat pada kedua mata kelinci untuk mengkondisikan mata agar dalam keadaan normal. Setelah diteteskan asam borat dan ditunggu beberapa saat, mata kiri kelinci diteteskan adrenalin. Hasilnya, diameter pupil mata kiri kelinci tampak membesar. Selanjutnya mata kelinci kembali diteteskan asam borat untuk mengembalikan kondisi mata agar diameter pupil kembali ke keadaan normal. Membesarnya pupil mata setalah diberikan sediaan adrenalin menunjukkan bahwa adrenalin memiliki efek menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan syaraf simpatis. Efek simpatis dapat menyebabkan efek midriasis (melebarkan) pupil mata (Heryati dan Faizah 2008). Hal tersebut menunjukkan bahwa adrenalin merupakan sediaan simpatomimetika (Kee dan Hayes 1993).
            Perlakuan kedua dilakukan dengan memberikan sediaan atropin pada mata kanan yang sebelumya sudah diberikan sediaan asam borat untuk menetralkan kondisi mata. Hasilnya, diameter pupil mata kanan kelinci tampak membesar. Namun, pembesaran yang terjadi tidak sebesar pembesaran pada waktu mata diberi sediaan adrenalin. Selanjutnya mata kelinci kembali diteteskan asam borat untuk mengembalikan kondisi mata agar diameter pupil kembali ke keadaan normal. Membesarnya pupil mata setalah diberikan sediaan adrenalin menunjukkan bahwa atropin memiliki efek menghambat syaraf parasimpatis. Efek parasimpatis dapat menyebabkan efek miosis (mengecilkan) pupil mata (Heryati dan Faizah 2008). Hal tersebut menunjukkan bahwa atropin merupakan sediaan parasimpatolitika (Kee dan Hayes 1993), karena memiliki fungsi menghambat efek parasimpatis.
            Perlakuan ketiga dilakukan dengan memberikan sediaan pilokarpin pada mata kiri yang sebelumya sudah diberikan sediaan asam borat untuk menetralkan kondisi mata. Hasilnya, diameter pupil mata kiri kelinci tampak mengecil. Selanjutnya mata kelinci kembali diteteskan asam borat untuk mengembalikan kondisi mata agar diameter pupil kembali ke keadaan normal. Mengecilnya pupil mata setalah diberikan sediaan pilokarpin menunjukkan bahwa sediaan tersebut memiliki efek menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan syaraf parasimpatis. Efek parasimpatis dapat menyebabkan efek miosis (mengecilkan) pupil mata (Heryati dan Faizah 2008). Hal tersebut menunjukkan bahwa pilokarpin merupakan sediaan parasimpatomimetika (Kee dan Hayes 1993).
KESIMPULAN

Sistem saraf otonom meliputi saraf simpatik dan saraf parasimpatik. Atropin digunakan sebagai obat simpatomimetik (antikolinergik) yang memiliki aktivitas menginhibisi salivasi. Sedangkan pilokarpin digunakan sebagai obat parasimpatomimetik (kolinergik) yang memiliki aktivitas menstimulasi salivasi.


DAFTAR PUSTAKA

Aprilia, Dwi.2010.Obat Kolinergik&Antikolinergik.Available Online athttp://www.scribd.com/doc/44889033/Obat-Kolinergik-Antikolinergik.Diaksespadatanggal [15 Mei 2016]
Ganiswara SG, et al. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta (ID): Gaya Baru.
Guyton, A. C. 2006. Textbook of medical physiology 11th edition.Elsevier Inc. Philadelphia.
Haritsah, S. 2011. TinjauanPustakaObatAdrenergik. Available online athttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26908/4/Chapter%20II.pdf[diakses tanggal 15 Mei 2016]
Heryati E dan Faizah N. 2008. Diktat Kuliah Psikologi Faal. Bandung(ID):            Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia.
Kee JL dan Hayes ER.1993. Farmakologi. Jakarta(ID): EGC.
Mycek, J. M. 2001. FarmakologiUlasanBergambarEdisi ke-2.PT Elex Media KomputindoKelompok Gramedia. Jakarta.
Pearce, Evelyn C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.
Robensthok E. 2002. Adverse Reaction to Atropine and the Treatment of Organophosphate Intoxication. IMAJ (4): 535
Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2009. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta (ID) : Kedokteran EGC.
Tan Hoan Tjay. 2002. Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan Dan Efek-Efek Sampingnya. Jakarta (ID) : PT. Gramedia Pusaka Utama.
Tan, H. T. danRahardja. 2002. Obat-ObatPenting. GramediaPustakaUmum. Jakarta.

Tan, H. T. dan Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.

Comments

  1. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.com

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Farmakologi Veteriner ANTIDIARE

Theileria Pada Sapi