SEDATIVA

PENDAHULUAN
Latar Belakang

               Susunan saraf pusat berkaitan dengan sistem saraf manusia yang merupakan suatu jaringan saraf yang kompleks, sangat khusus dan saling berhubungan satu dengan yang lain. Fungsi sistem saraf antara lain : mengkoordinasi, menafsirkan dan mengontrol interaksi antara individu dengan lingkungan sekitarnya. Sistem saraf dapat dibagi menjadi sistem saraf pusat atau sentral dan sistem saraf tepi (SST). Pada sistem syaraf pusat, rangsang seperti sakit, panas, rasa, cahaya, dan suara mula-mula diterima oleh reseptor, kemudian dilanjutkan ke otak dan sumsum tulang belakang. Rasa sakit disebabkan oleh perangsangan rasa sakit diotak besar. Sedangkan analgetik narkotik menekan reaksi emosional yang ditimbulkan rasa sakit tersebut. Sistem syaraf pusat dapat ditekan seluruhnya oleh penekan saraf pusat yang tidak spesifik, misalnya sedatif hipnotik. Obat yang dapat merangsang SSP disebut analeptika.
Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP) yang realtif tidak selektif, mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan, hingga yang berat (kecuali benzodiazepin) yaitu hilangnya kesadaran, keadaan anestesi, koma dan mati, bergantung pada dosis. Pada dosis terapi obat sedatif menekan aktivitas, menurunkan respons terhadap perangsangan emosi dan menenangkan. Sedatif menekan reaksi terhadap perangsangan, terutama rangsangan emosi tanpa menimbulkan kantuk yang berat. Obat yang tergolong sedative, yaitu chloralhidrat. Hipnotik menyebabkan tidur yang sulit dibangunkan disertai penurunan refleks hingga kadang-kadang kehilangan tonus otot. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis.

Tujuan

            Praktikum ini bertujuan untuk mengamati pengaruh golongan obat sedativa terhadap perilaku hewan dan membandingkan efek kerja obat sedativa dengan obat stimulansia sistem syaraf pusat.      
TINJAUAN PUSTAKA

Acepromazin

Acepromazin adalah agen neuroleptik phenotiazin. Efek utama yang diinginkan dalam penggunaan acepromazin pada penanganan medis veteriner adalah sebagai transquilizer. Ditambah dengan aksi farmakologis yang diberikan acepromazin yang meliputi antiemetik, antispasmodik, dan penanganan hipotermia. Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa acepromazin memiliki aktivitas antikonvulsan. Acepromazin dapat menurunkan nilai respiratori, namun beberapa studi mendemonstrasikan bahwa efeknya hanya berpengaruh kecil atau tidak terjadi pada gambar gas darah, pH, atau saturasi oksihemoglobin. Penurunan dosis pada hematokrit terlihat pada 30 menit setelah pemberian obat pada kuda dan anjing. Pada kuda, nilai hematokrit dapat menurun hingga 50% dari dosis awal, akibat peningkatan skuestrasi splenik pada sel darah merah. Selain dapt menurunkan tekanan darah arterial pada anjing, acepromazin menyebabkan peningkatan tekanan vena sentral, hal ini termasuk efek bradikardia dan blok sinoatrial. Bradikardia dapat ditiadakan dengan efek reflek takikardia sekunder untuk menurukan tekanan darah. Acepromazin juga memiliki efek antidysritmik. Acepromazin telah didemostrasikan dapat menghambat induksi aritmia melalui barbiturat aksi pendek-panjang, dan memberi perlindungan melawan fibrilasi ventrikuler dari halotan dan epineprin. Acepromazin telah diterima penggunaannya pada anjing, kucing, dan kuda. Penggunaannya pada anjing dan kucing diindikasikan untuk penenang, gatal-gatal (menggaruk berlebihan) yang menyebabkan iriitasi kulit, antiemetik, dan agen pre anestetik. Sedangkan pada kuda mengontrol kegelisahan, digunakan bersama dengan anestesi lokal untuk berbagai prosedur dan penanganan. Obat ini umumnya juga dipakai sebagai pre anestetik pada kuda, dan dalam dosis kecil dipakai untuk mengontrol sifat hewan. Namun, acepromazin dilarang penggunaannya sebagai tranquilizer untuk babi, sapi, kelinci, domba, dan kambing. Acepromazin juga dibuktikan dapat menurunkan insiden malignan hipertermia induksi halotan pada babi-babi yang rentan. Peringatan penggunaan dan dosis lebih kecil acepromazin sebaiknya diberikan kepada hewan yang memilki disfungsi hepatik, penyakit jantung, atau debilitasi umum. Karena efek hipotensinya, acepromazin dikontraindikasikan pada pasien yang mengalami hipopolemik atau syok. Phenotiazin secara relatif, dikontraindikasikan pada pasein yang mengalami tetanus atau intoksikasi strignin yang disebabkan efek sistem ekstapiramidal(Plumb dan Donald 2005).

Phenotiazin

Phenotiazin memblok post sinaptik reseptor dopamin pada sistem saraf pusat dan juga menghambat pelepasan dan peningkatan kadar dopamin. Obat ini diperkirakan menekan bagian sistem aktivasi retikuler yang membantu mengontrol temperatur tubuh, metabolisme basal, emesis, kesehatan vasomotor, keseimbangan hormon, dan kesadaran. Ditambah lagi, phenotiazin memiliki derjat bervariasi terhadap efek blok antikonergik, antihistamin, antispasmodik, dan alfa-adrenergik. Dalam medis veteriner umumnya phenotiazin sebaiknya jangan digunakan pada hewan yang mengalami epilepsi atau rentan mengalami kejang (seperti paca myelografi). Phenotiazin memblok reseptor alfa-aderenrgik dan jika epineprin diberikan, dapat memacu aktivitas beta tak ada lawan, dan menyebabkan vasidilatasi dan meningkatkan denyut jantung(Kee et.al. 1996).

Amfetamin

Obat perangsang sistem saraf pusat adalah amfetamin. Amfetamin meningkatkan pelepasan katekolamin yang mengakibatkan jumlah neurotransmiter golongan monoamine (dopamin, norepinefrin, dan serotonin) dari saraf pra-sinapsis meningkat. Amfetamin memiliki banyak efek stimulan diantaranya meningkatkan aktivitas dan gairah hidup, menurunkan rasa lelah, meningkatkanmood, meningkatkan konsentrasi, menekan nafsu makan, dan menurunkan keinginan untuk tidur.  Akan tetapi, dalam keadaan overdosis, efek-efek tersebut menjadi berlebihan(Karch dan Amy 2003). Secara klinis, efek amfetamin sangat  mirip dengan kokain, tetapi amfetamin memiliki waktu paruh lebih panjang dibandingkan dengan kokain (waktu paruh amfetamin 10 – 15 jam) dan durasi yang memberikan efek  euforianya 4 – 8 kali lebih lama dibandingkan kokain. Hal ini disebabkan oleh stimulator-stimulator tersebut mengaktivasi “reserve powers” yang ada di dalam tubuh manusia dan ketika efek yang ditimbulkan oleh amfetamin melemah, tubuh memberikan “signal” bahwa tubuh membutuhkan senyawa-senyawa itu lagi.  Berdasarkan ICD-10(The International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems), kelainan mental dan tingkah laku yang disebabkan oleh amfetamin diklasifikasikan ke dalam golongan F15. Amfetamin menyebabkan ketergantungan psikologis.
Efek jangka pendek dari amfetamin yaitu meningkatkan suhu tubuh, kerusakan sistem kardiovaskular, paranoia, meningkatkan denyut jantung, meningkatkan tekanan darah, menjadi hiperaktif, mengurangi rasa kantuk, menurunkan nafsu makan, euforia, mulut kering,dilatasi pupil, mual, sakit kepala, perubahan perilaku seksual, tremor.
Penyalahgunaan amfetamin dalam kurun waktu yang cukup lama atau dengan dosis yang tinggi dapat mengakibatkan timbul banyak masalah diantaranya psychosis, kelainan psikologis dan tingkah laku, pusing-pusing, perubahan mood atau mental, kesulitan bernapas, kekurangan nutrisi, gangguan jiwa
Efek pada sistem saraf pusat: dalam keadaan keracunan akut, pengguna amfetamin pada umumnya merasakan euforia, keresahan, agitasi, dan cemas berlebihan. Kira-kira 5 – 12% pengguna mengalami halusinasi, keinginan untuk bunuh diri, dan kebingungan. Sebanyak 3% pengguna amfetamin mengalami kejang-kejang.


METODOLOGI

            Praktikum ini menggunakan spoit 1 mL, alat penguji terang dan gelap, stopwatch. Bahan yang digunakan NaCl fisiologis, sediaan amfetamin, phenobarbital, azepromazin. Hewan coba adalah tikus.
            Tikus ditimbang untuk menentukan jumlah pemberian sediaan. Sediaan di injksikan dengan rute intraperitonial tikus. Tunggu selama 20 menit agar sediaan obat bekerja. Masukan tikus kedalam kotak yang dimodifikasi untuk melihat reflks terang dan gelap. Catat waktu tikus pada setiap daerah. Lakukan pengamatan selama 10 menit. Hasil dilampirkan dalam bentuk tabel
            Percobaan kedua adalah mengamati akivitas tikus. Setelah diinjeksi sediaan, letakkan tikus di atas area yang diberi garis-garis vertikal dan horizontal. Amati pergerakan tikus. Setiap perpindahan 1 kotak dihitung sebagai 1 gerakan. Gerakan berdiri atau menunduk dan grooming dihitung 1 gerakan. Lakukan pengamatan selama 10 menit . Hasil dilampirkan dalam bentuk tabel beruta jumlah total gerakan.


HASIL DAN PEMBAHASAN

            Setelah dilakukan percobaan didapatkan hasil sebagai berikut.
Tabel 1 Hasil pengamatan aktivitas tikus pada daerah terang dan gelap

 
 


Parameter
NaCl + NaCl
Amfetamin + NaCl
Amfetamin + Acepromazin
Amfetamin + Phenobarbital
1
2
1
2
3

Terang
16”
4’28”
14”
1’51”
1’43”
5’
47”
Gelap
9’44”
5’32”
9’46”
8’9”
8’17”
5’
9’13”
Lokomosi
42
184
838
188
23
0
250

Amfetamin   dan   derivatnya yaitu  MA  (metamfetamin)   dan  MDMA(methylene-dioxy-meth-amfetamine), termasuk kedalam golongan psikotropika yang   memiliki   efek   stimulansia   kuat.   Amfetamin   bekerja   merangsang   susunan   saraf   pusat   melepaskan katekolamin (epineprin, norepineprin, dan dopamin)  dalam  sinaps pusat dan menghambat dengan meningkatkan rilis neurotransmiter entecholamin, termasuk dopamin. Obat ini akan menstimulasi area korteks serebri, sistim limbik, hingga batang otak( Keng et al 2008). Efek   klinis   amfetamin   akan   muncul   dalam   waktu   1-2  jam   setelah penggunaan. Senyawa ini mampu membuat individu menjadi lebih energik dan percaya diri. Obat ini juga menginduksi adanya rasa cemas dalam individu.  Metabolit amfetamin terdiri dari p-hidroksiamfetamin, p-hidroksinorepedrin, dan penilaseton. Karena waktu paruhnya yang pendek menyebabkan efek dari obat ini relatif cepat dan dapat segera   terekskresikan. Keracunan amfetamin pada umumnya terjadi karena penyalahgunaan obat hingga   menyebabkan   ketergantungan.   Ditandai   dengan   peningkatan kewaspadaan , percaya   diri,   euforia,   perilaku   ekstrovet,  depresi pernapasan, tremor, dilatasi pupil, takikardia, dan hipertensi berat juga dapat menyebabkan eksitabilitas, agitasi,delusi, paranoid(Japardi 2002).
Lokomotor merupakan salah satu domain dari gerak dasar fundamental   (fundamental   basic   movement),   di   samping   gerak   dasar   non-lokomotor dan gerak dasar manipulatif. Gerak dasar lokomotor diartikan sebagai gerakan atau keterampilan yang menyebabkan tubuh berpindah tempat, sehingga dibuktikan dengan adanya perpindahan tubuh (traveling) dari satu titik ke titik lain. Gerakan-gerakan tersebut merentang dari gerak yang sifatnya sangat alamiah mendasar seperti merangkak, berjalan, dan  berlari(Priyanto 2010) Praktikum kali ini dilakukan dengan melakukan perhitungan aktivitas lokomotor berupa berapa banyak tikus berjalan diatas kotak yang telah diberikan tanda garis penanda perhitungan jumlah langkah tikus, selain itu, aktivitas tikus seperti grooming, merangkak, ataupun merunduk juga diperhitungan sebagai aktivitas lokomotor. Terhitung jumlah aktivitas lokomotorik total selama 10 menit adalah 184. Angka hasil perhitungan ini lebih besar dari kontrol yang diberikan NaCl yakni 42. Hal tersebut membuktikan bahwa amfetamin mampu merangsang sinaps otak dan menyebabkan euforia yang membuat aktivitas lokomotor tikus meningkat. Efek Pemberian amfetamin juga membuat tikus lebih nyaman di dalam keadaan gelap, namun selisih antara waktu keberadaannya di ruang gelap maupun di ruang terang tidak terlalu signifikan. Waktu tikus berada di dalam ruang terang yakni empat menit 28 detik, sedangkan di ruang gelap yakni lima menit 32 detik. Secara alamiah, tukus memang lebih menyukai tempat gelap karena merasa aman. Namun, ketika pemberian amfetamin,  efek dari obat bekerja memberikan kepercayaan diri tikus untuk berada di ruang terang, sehingga terlihat tikus bolak-balik ke ruang gelap-terang.
Parameter
NaCl
Amfetamin + NaCl
Amfetamin + Acepromazin
Amfetamin + Phenobarbital
Terang
16”
2’21”
2’44”
47”
Gelap
9’44”
7’39”
7’16”
9’13”
Lokomosi
42
511
70
250
Tabel 2 rata-rata waktu aktivitas tikus pada daerah terang dan gelap
 

Hasil percobaan memperlihatkan bahwa setelah dirata-ratakan, tikus yang hanya diberi NaCl tidak lama berada di tempat terang yaitu 16 detik dan  lebih lama di tempat gelap yaitu sembilan menit 44 detik, sedangkan lokomosinya hanya 42 kali. Tikus yang diberi amfetamin terlebih dahulu kemudian Acepromazin, tetap lebih menyukai tempat gelap yaitu selama tujuh menit enam belas detik, namun terlihat adanya penurunan lokomosi yaitu 70 kali. Tikus yang diberi Amfetamin terlebih dahulu kemudian Phenobarbital, juga lebih menyukai tempat yang gelap yaitu selama sembilan menit tiga belas detik dan lokomosi yang dilakukan lebih sering dibanding Acepromazin yaitu 250 kali.
Percobaan selanjutnya adalah pemberian injeksi Nacl fisiologis dan amfetamin pada tikus. Hasilnya adalah aktivitas tikus diruang terang tercatat selama 2 menit 21 detik. Sedangkan aktivitas pada bagian gelap tercatat selama 7 menit 39 detik. Hasil tersebut apabila dibandingkan dengan parameter kontrol yang hanya diberi sediaan NaCl, aktivitas tikus pada bagian terangnya meningkat. Hal tersebut terjadi karena kelompok obat stimulan menghasilkan perasaan senang, percaya diri, dan kegembiraan atau euforia (Wade dan Tavris 2008). Hasil pengamatan lokomosi tikus memiliki nilai 511. Hasil tersebut apabila dibandingkan dengan parameter kontrol, aktivitas lokomosinya meningkat drastis. Hal tersebut karena amfetamin akan menaikkan tekanan darah, mempercepat denyut nadi, melebarkan bronkus, meningkatkan kewaspadaan, menimbulkan euforia, menghilangkan kantuk, mudah terpacu,menghilangkan rasa lelah dan rasa lapar, meningkatkan aktivitas motorik dan merasa kuat (Joewana 2004).
Berdasarkan hasil pengamatan, efek sedativa yang ditimbulkan acepromazin lebih kuat dibandingkan dengan phenobarbital. Semua tikus yang digunakan dalam percobaan ini lebih menyukai berada di tempat yang gelap dibandingkan dengan tempat terang, meskipun tidak diberi obat sedativa. Hal tersebut dapat disebabkan tikus mengalami stres sehingga tikus lebih ingin berada di tempat yang tenang seperti tempat yang gelap.
            Peningkatan aktivitas lokomosi disebabkan adanya efek stimulan dari preparat yang digunakan. Acepromazin adalah sebuah obat penenang dan termasuk anastesi premedikasi yang sangat sering digunakan pada hewan kecil dan besar dalam dunia kedokteran hewan. Sifatnya yang menenangkan, antimetic, dan antiaritmia membuat obat ini sangat terkenal sebagai obat premedikasi. Profil farmakokinetik dari obat ini adalah cenderung memiliki onset yang lambat, namun durasi kerja cukup lama yaitu sekitar satu sampai dua jam (Brock 1994).
Fenobarbital merupakan obat hipnotik dan sedative yang tersedia dalam bentuk injeksi atau parenteral dan sangat sukar larut dalam air. Obat ini biasanya ditujukan untuk penanganan kasus epilepsi dan sebagai antikonvulsan. Efek samping yang ditimbulkan oleh obat sedasi ini cukup banyak seperti mendepres system respirasi dan kardiovaskular. Terlebih lagi jika pemberian diberikan hingga overdosis, efek toksik seperti koma, kerusakan system respirasi dan kardiovaskular, tekanan darah rendak, shock, dan hipotermia dapat saja terjadi (Pinel et al. 2006).
Amfetamin merupakan salah satu obat yang bersifat menstimulasi sistem saraf pusat. Tujuan dari pemberian obat ini di awal sebelum pemberian obat sedative adalah agar efek sedative yang ditimbulkan lebih terlihat jelas. Amfetamin yang dapat merangsang aktivitas lokomotoris tikus akan langsung menurun efeknya setelah diinjeksikan Acepromazin ataupun Phenobarbital yang bersifat sedativa (antagonis dengan amfetamin). Hal tersebut terbukti saat percobaan dilakukan. Terlihat pada tabel 2, pada pemberian Amfetamin dan NaCl aktivitas lokomotoris meningkat tajam dari sebelum pemberian sebanyak 42 kali, menjadi 511 kali. Setelah pemberian Acepromazin, aktivitas lokomotoris langsung menurun drastis dari 511 kali menjadi 70 kali, dan yang diberi Phenobarbital menurun menjadi 250 kali. Penurunan ini tidak sampai lebih rendah dari yang diberi NaCl saja karena masih ada sedikit efek amfetamin yang bekerja dalam tubuh tikus.


SIMPULAN
Sediaan sedativa memiliki efek menghilangkan rasa cemas sehingga tidak berpengaruh pada rangsangan apappun. Sediaan yang digunakan dalam praktikum memiliki efek sedativa yang kuat adalah azepromazin karena menyebabkan penurunan aktivitas dan gerakan. Penambahan sediaan stimulansia digunakan sebagai pembanding gerakan dan aktivitas yang ditimbulkan.

DAFTAR PUSTAKA

Ardhiyanti Y, Pitriani R, Damayanti IP. 2014. Panduan Lengkap Keterampilan     Dasar Kebidanan I. Yogyakarta (ID): Deepublish.
Brock N. 1994. Acepromazine Anesthesia. Can Vet J. Veterinary Anesthesia          Northwest. Vol. 35
Japardi, Iskandar. 2002. Efek Neurologis Pada Penggunaan Amfetamin. USU:       Fakultas Kedokteran Bagian Bedah
Joewana S. 2004. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif. Jakarta (ID): EGC.
Karch, Amy M. 2003. Buku Ajar Farmakologi Keperawatan. Jakarta: EGC
Kee, Joyce L, dan Evelyn R. Hayes.1996. Farmakologi. Jakarta: EGC

Keng Sheng Chew .2008. Early Onset Muscarinic, Emergency Medicine    Department, School of Medical Sciencies, University Sains Malaysia,             Malaysia.
Pinel J, Weiss F, Henkens M, and Grouzard V. Essential Drugs: Practical   Guidelines. 2006. [Internet]. http://www.msf,org. Medicines Sans   Frontieres. Diunduh pada 1 Mei 2017.
Plumb, Donald C. 2005. Plumb’s Veterinary Drug Handbook : Fifth Edition. 
Wisconsin (USA):  PharmaVet.Inc Stockholm.

Priyanto. 2010. Toksikologi: Mekanisme, Terapi Antidotum, dan Penilaian Resiko. Depok (ID): Lembaga Studi dan Konsultasi Farmakologi
Wade C, Tavris C. 2008. Psikologi. Jakarta (ID): Erlangga.


Comments

Popular posts from this blog

Farmakologi Veteriner ANTIDIARE

Theileria Pada Sapi

Farmako SSO