Tripanosomiasis
Trypanosoma evansi (surra)
Trypanosomiasis
atau
Surra adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh agen Trypanosoma
evansi dan ditularkan melalui gigitan lalat penghisap darah
(haematophagus
flies). Agen Trypanosoma evansi telah tersebar luas
di kawasan Asia Tenggara, Afrika dan Amerika Selatan. Pada wilayah yang
berbeda tersebut, parasit ini dapat menyerang berbagai spesies hewan. Di
Amerika Selatan, kasus penyakit Surra paling sering ditemukan pada kuda.
Hewan yang terinfeksi di Cina umumnya kuda, kerbau, dan rusa. Di Timur Tengah
dan Afrika parasit ini menyerang unta, dan di Asia Tenggara penyakit Surra
dapat ditemukan pada kuda, sapi, dan kerbau (Andesjam, 2013)
Parasit
penyebab penyakit ini yakni Trypanosoma evansi umumnya hidup dalam
aliran darah khususnya dalam cairan atau plasma darah sebagai parasit ekstra
seluler. Parasit ini juga dapat ditemukan dalam organ tubuh yang lain seperti
jantung, hati, otak, atau susunan saraf pusat, limpa, ginjal dan paru-paru.
Lebih lanjut Sudardjat, menyatakan bahwa untuk keperluan hidup parasit ini,
sumber energi diambil dari glukosa darah. Menurunnya kadar glukosa darah
menyebabkan terjadinya peningkatan asam susu yang mengakibatkan turunnya daya
tahan tubuh, disamping timbulnya toksin/tripanotoksin (Sudardjat, 1998).
2.3.1
Etiologi
Klasifikasi
dari trypanosomiasis : (Anonim, 2012)
Sub Kingdom : Protozoa
Filum
|
|
:
Sarcomastigophora
|
Sub Filum
|
:
Mastigophora
|
|
Kelas
|
|
:
Zoomastigophorasida
|
Ordo
|
|
:
Kinetoplastorida
|
Famili
|
|
:Trypanosomadidae
|
Genus
|
|
:
Trypanosomatidae
|
Sub Genus
|
:
Trypanozoon
|
|
Spesies
|
:
Trypanosoma evansi
|
|
Habitat
|
:
Pembuluh darah, pembuluh limfe, cairan otak
|
Induk semang : kuda, unta, anjing, hewan
ternak
Di
alam terdapat berbagai jenis trypanosoma pada hewan (animal
trypanosomes) yang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu non patogen dan patogen.
Trypanosoma lewisi merupakan trypanosoma non patogen yang
ditemukan pada tikus dan ditularkan melalui pinjal (rat flea). Jenis trypanosoma
yang patogen diantaranya Trypanosoma brucei yang menyebabkan penyakit Nagana
pada ternak di Afrika, Trypanosoma equiperdum diketahui menyebabkan
penyakit Dourine pada kuda yang ditularkan melalui perkawinan
(venereal disease). Trypanosoma equinum yang ditularkan secara mekanis
oleh lalat Tabanus dapat menyebabkan penyakit Mal de Caderas pada
kuda di Amerika Selatan. Di Afrika, Trypanosoma vivax dan Trypanosoma
congolense yang ditularkan oleh lalat tsetse dapat menginfeksi
ternak dan manusia (human trypanosomiasis). Adapun Trypanosoma
evansi yang ditularkan secara mekanik oleh lalat tabanus
dapat menyebabkan penyakit Surra pada kuda, sapi dan kerbau.(Pathak et
al,. 1997)
2.3.2 Morfologi
Trypanosoma
evansi memiliki morfologi yang mirip dengan trypanosoma lainnya seperti Trypanosoma
equiperdum, Trypanosoma brucei, Trypanosoma gambiense dan
Trypanosoma rhodesiense. Permukaan tubuh Trypanosoma evansi diselubungi
oleh lapisan protein tunggal yaitu glikoprotein yang dapat berubah-ubah bentuk
(variable surface glycoprotein). Dengan kemampuan glikoprotein yang dapat
berubah bentuk, maka Trypanosoma evansi dapat memperdaya sistem
kekebalan tubuh inang (host). Konsekuensinya akan terjadi variasi antigenik
(antigenic variation) dimana tubuh akan selalu berusaha membentuk antibodi yang
berbeda-beda sesuai dengan protein permukaan yang ditampilkan oleh
Trypanosoma evansi (Kauffman,
2001).
Penyakit
Surra disebabkan oleh protozoa yang merupakan parasit darah, yaitu Trypanosoma
evansi. Parasit ini dapat ditemukan di dalam sirkulasi darah pada fase
infeksi akut. Trypanosoma evansi memiliki ukuran panjang 15 to 34 μm dan
dapat membelah (binary fission) untuk memperbanyak diri. Bentuknya yang khas
seperti daun atau kumparan dicirikan dengan adanya flagella yang panjang
sebagai alat gerak. Di bagian tengah tubuh terdapat inti yang mengandung
kariosoma (trofonukleus) yang besar dan terletak hampir sentral. Salah satu
ujung tubuh berbentuk lancip, sedangkan ujung tubuh yang lain agak tumpul dan
terdapat bentukan yang disebut kinetoplast (Davison et al, 2000)
Trypanosoma
evansi hidup dan bergerak dalam plasma darah atau cairan
jaringan induk semang. Mereka memanjang, ramping dan meruncing dikedua
ujungnya. Para pellicle lapisan luar dari sitoplasma cukup fleksibel untuk
memungkinkan tingkat gerakan tubuh. Seperti ditunjukkan dalam Gambar 1.
Permukaan tubuh Trypanosoma evansi diselubungi oleh lapisan protein tunggal
yaitu glikoprotein yang dapat berubah-ubah bentuk (variable surface
glycoprotein). Dengan kemampuan glikoprotein yang dapat berubah bentuk, maka Trypanosoma
evansi dapat memperdaya sistem kekebalan tubuh inang (host). Konsekuensinya
akan terjadi variasi antigenik (antigenic variation) dimana tubuh akan selalu
berusaha membentuk antibodi yang berbeda-beda sesuai dengan protein permukaan
yang ditampilkan oleh Trypanosoma evansi (Omanwar et al. 1999).
2.3.2
Siklus Hidup
Penyakit
ini ditularkan secara mekanik oleh lalat penghisap darah dari genus Tabanus dan
Stomoxys (Soulsby, 1982). Lalat memindahkan Trypanosoma evansi pada
saat menghisap makanan/darah pada tubuh hewan, karena terganggu lalat tersebut
kemudian pindah ke hewan lain dengan cepat untuk melanjutkan kegiatan makannya.
Parasit darah ini dapat hidup dalam mulut lalat selama 30 menit sampai enam jam
(Sukanto, 1994).
Didalam
tubuh vektor, dimulai sejak lalat menghisap darah penderita, bersama darah juga
akan terhisap gamon (mikro dan makro)-gamet, didalam tubuh lalat mikrogamet
akan secara aktif mencari makrogamet untuk kawin, hasil perkawinan terbentuklah
zygot berbentuk bulat kemudian berkembang lebih lanjut bentuknya berubah
memanjang dan dapat bergerak disebut ookinet, ookinet bergerak menuju dinding
usus tengah untuk membentuk ookista, ookista mengalami proses sprogony
(pembentukan sporozoit) dengan menbelahan berlipat ganda (skizogoni)
menghasilkan sporozoit, sporozoit akan bermigrasi menuju kelenjar air liur
sehingga lalat menjadi infektif. (Dwinurmijayanto, 2011)
Didalam
tubuh hewan peka, dimulai juga saat lalat infektif menghisap darah, sporozoit
yang berada didalam kelenjar ludah akan ikut tersebar kedalam peredaran darah,
kemudian akan memasuki sel endotel (ginjal, hati dan paru-paru) serta didalam
ruangan berisi darah atau didalam jaringan (jantung, limpa, pankreas, thymus,
otot-otot, usus, tarakhea, ovarium, kelenjar adrenal, dan otak. Sporozoit
mengalami proses merogony (pembentukan merozoit) dengan cara pembelahan
berlipat ganda (skizogoni) sehingga dibebaskan banyak merozoit. Merogoni
berlangsung beberapa kali, kemudian mengalami proses gametogony (pembentukan
gamet) akhirnya terbentuklah (mikro dan makro)-ganet. Gamet ini akan ikut
terhisap saat lalat menghisap darah maka terulanglah siklus seperti diatas.
(Dwinurmijayanto, 2011)
2.3.3
Patogenesis
Vektor
utama adalah lalat dan nyamuk (Stomoxys calcitrans, Lyperosia, Glossina
dan Tabanus). Trypanosoma evansi diketahui hanya berbentuk
tunggal (monomorfik) berbeda dengan spesies lain yang berbentuk ganda
(pleomorfik). Dalam keadaan tertentu, protozoa ini tidak dapat tertangkap saat
dilakukan pemeriksaan karena dapat bersembunyi di dalam kelenjar limfe
(Subronto, 2006).
Penyakit
Tripanosomiasis ditularkan secara mekanik melalui gigitan vektor setelah
ia menghisap darah penderita, baik hewan ternak maupun anjing. Setelah memasuki
peredaran darah, trypanosoma segera memperbanyak diri secara biner.
Dalam waktu pendek penderita mengalami parasitemia dan suhu tubuh biasanya
mengalami kenaikan. Sel darah penderita yang tersensitisasi oleh parasit segera
dikenali oleh makrofag dan dimakan oleh sel darah putih tersebut. Bila sel
darah merah yang dimakan makrofag cukup banyak, penderita segera mengalami
anemia normositik dan normokromik. Sebagai akibat anemia, penderita tampak
lesu, malas bergerak, bulu kusam, nafsu makan menurun dan mungkin juga terjadi
oedem di bawah kulit maupun serosa (Subronto, 2006).
2.3.4
Epidemiologi
Ada
4 macam pertanyaan dasar untuk menyelidiki penyakit dalam populasi yang
mencakup eksistensi, penyebab, pengendalian dan ekologi penyakit dalam populasi.
Salah satu pertanyaan dalam menyelidiki penyakit penyebab Trypanosoma evansi
adalah perananan faktor-faktor lingkungan, hospes, agen pembawa sabagai
penyebab penyakit yang ada dalam Postula Evans ( Martin. et al., 1987).
Mengetahui
tentang aspek Centry Epidemiologi dari ekologi parasite Trypanosoma evansi
tersebut sangat berguna untuk menentukan strategi
8
pemberantasan
dan pencegahannya. Diketahuinya faktor penyebab Trypanosoma evansi sangat
berguna untuk menentukan penyebab penyakit selanjutnya dengan metode yang
efektif untuk pengendalian penyakit tersebut sehingga dapat menekan dampak
ekonomi dan social yang ditimbulkan ( Rushton et al, 2006).
Trypanosoma evansi dapat
menginfeksi berbagai hewan inang (wide host spectrum) yang secara
ekonomis bernilai penting. Kuda sangat rentan terhadap penyakit Surra
dan dapat menyebabkan mortalitas tinggi. Hewan lain yang rentan terinfeksi
adalah sapi, kerbau, kambing, domba dan rusa, namun hewan-hewan tersebut lebih
toleran terhadap infeksi sehingga dapat menjadi hewan pembawa parasit
(reservoir). Agen Trypanosoma evansi juga dapat menyerang babi, anjing,
kucing dan beberapa jenis hewan liar. Adapun tikus dan mencit merupakan hewan
percobaan yang sangat rentan terinfeksi Trypanosoma evansi sehingga
digunakan dalam teknik inokulasi untuk mendeteksi infeksi subklinis penyakit Surra
(Nasution, 2007).
Manusia, walaupun jarang terjadi, dapat
pula terinfeksi Trypanosoma evansi. Namun infeksi pada manusia
bukanlah infeksi yang terjadi secara alami karena pada dasarnya Trypanosoma
evansi adalah parasit darah pada hewan (animal trypanosome). Kasus infeksi Trypanosoma
evansi pada manusia yang pernah dilaporkan terjadi India masih memerlukan
kajian lebih lanjut. (Nasution, 2007).
Di beberapa negara, insidensi penyakit Surra
mengalami peningkatan yang signifikan terutama pada musim hujan. Hal ini
terjadi karena populasi lalat penghisap darah meningkat pada musim hujan.
Selain faktor musim, beban kerja yang berlebih pada ternak, kurangnya nutrisi
dan stress lingkungan juga berkaitan dengan penyakit Surra. (Oka, 2010)
Di Indonesia, wabah Surra terjadi
secara sporadik. Walaupun terkadang wabah terjadi lokal, namun mortalitas
(kematian) ternak yang terinfeksi cukup tinggi. Gambaran lain tentang penyakit Surra
di Indonesia adalah masih berlangsungnya perpindahan hewan dari daerah yang
tertular Surra ke daerah yang bebas atau sebaliknya. (Oka, 2010)
Penyebaran
penyakit Surra yang luas di hampir seluruh wilayah Indonesia dan
kejadian penyakit yang sporadik memperkuat dugaan adanya enzootic stability
antara agen Trypanosoma evansi dan inang. Hal ini artinya penyakit Surra
dapat muncul kapan saja tergantung dengan faktor lingkungan, kondisi imunitas
hewan dan populasi lalat (vektor). (Nasution, 2007).
2.3.5
Cara Penularan
Penularan penyakit Surra
antarhewan terjadi melalui darah yang mengandung parasit Trypanosoma evansi.
Penularan yang paling utama terjadi secara mekanis oleh lalat penghisap darah (hematophagous
flies). Di Indonesia, vektor penular yang berperan adalah lalat Tabanus,
Haematopota, dan Chrysops. Jenis lalat lain seperti Stomoxys,
Musca, Haematobia juga dapat menjadi vektor pada saat populasi lalat
tersebut meningkat di suatu wilayah. Walaupun penularan terjadi melalui gigitan
lalat, tetapi agen Trypanosoma evansi tidak melakukan perkembangan
siklus hidup di dalam tubuh lalat. (OIE, 2009).
Hewan karnivora dapat terinfeksi trypanosoma
apabila memakan daging yang mengandung trypanosoma. Penularan melalui
air susu dan selama masa
9
kebuntingan
pernah pula dilaporkan (OIE, 2009). Namun karena parasit ini tidak mampu
bertahan lama di luar tubuh inang, maka resiko penularan melalui produk asal
hewan (daging dan susu) dapat diabaikan.
Penularan
melalui peralatan kandang seperti dehorner (alat pemotong tanduk) serta
alat-alat medis misalnya jarum suntik dan alat bedah dapat terjadi apabila
peralatan tersebut terkontaminasi darah yang mengandung parasit trypanosoma.
(OIE, 2009).
2.3.6
Gejala Klinis
Gejala
klinis yang tampak pada hewan bervariasi tergantung pada keganasan/virulensi
agen Trypanosoma evansi, jenis hewan (host) yang terinfeksi dan faktor
lain yang dapat menimbulkan stress. Lama waktu antara awal infeksi dan
munculnya gejala klinis (masa inkubasi) bervariasi, rata – rata 5 sampai 60
hari pada infeksi akut. Akan tetapi penyakit Surra umumnya berlangsung kronis
(chronic infection) dengan angka kematian yang rendah sehingga pernah
dilaporkan masa inkubasi yang lebih lama yaitu 3 bulan. Setelah masa inkubasi,
dalam waktu kurang dari 14 hari akan ditemukan parasit yang beredar dalam
sirkulasi darah (parasitemia). (Anonim 2014).
Manisfestasi
klinis penyakit Surra dapat berupa gejala demam berulang (intermiten) akibat
parasitaemia. Parasitemia sangat tinggi variasinya selama masa infeksi: tinggi
pada awal infeksi, rendah selama infeksi berjalan kronis dan hampir tidak ada
pada hewan pembawa agen (carrier). (Anonim 2014).
Anemia
merupakan gejala yang paling banyak ditemukan pada infeksi oleh trypanosoma.
Membran sel darah merah akan kehilangan salah satu komponen penyusun yaitu asam
sialik (sialic acid). Hal tersebut akan mengaktifkan makrofag pada organ limpa,
hati, paru-paru, limfonodus dan sum-sum tulang untuk memfagosit sel darah merah
sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel darah merah. (Anonim 2014).
Gejala
lain diantaranya penurunan berat badan, pembengkakan limfonodus prescapularis
kiri dan kanan, kelemahan otot tubuh, oedema pada anggota tubuh bagian bawah
seperti kaki dan abdomen, urtikaria pada kulit, perdarahan titik (petechial
haemorrhages) pada membran serous kelopak mata, hidung dan anus, keguguran
(abortus), dan gangguan syaraf. Penurunan imunitas tubuh (imunosupresi) juga
ditemui sehingga hewan inang menjadi rentan terhadap infeksi sekunder. (Anonim
2014).
Trypanosomiasis
pada
kerbau umumnya memang bersifat kronis bahkan tanpa gejala klinis
(asimtomatis). Kerbau menunjukkan parasitemia lebih lama dan lebih tinggi
daripada sapi, sehingga diduga sebagai sumber penularan (reservoir) yang
potensial bagi ternak lainnya (Levine, 1995).
Setelah
melewati masa inkubasi timbul gejala umum : temperatur naik, lesu, letih dan
nafsu makan terganggu. biasanya hewan dapat mengatasi penyakit walaupun dalam
darahnya ada Trypanosoma bertahun-tahun. Apabila sakit : demam selang
seling, oedema bawah dagu dan anggota gerak, anemia, makin kurus dan bulu
rontok. Mucosa menguning awalnya cermin hidung mengering lalu keluar lendir dan
air mata dan sering makan tanah. Ketika masuk cairan cerebrospinal:
sempoyongan, berputar-putar,gerak paksa dan kaku (Levine, 1994)
10
2.3.7
Diagnosis
Tes
diagnosa merupakan hal yang sangat penting untuk mendeteksi suatu penyakit.
Pada level populasi (herd level) memberikan indikasi dalam
menentukan
frekuensi kejadian penyakit; dan pada level individu, selain dipakai
sebagai langkah awal sebelum memberikan pengobatan pada ternak, juga untuk
mengkaji
efikasi suatu terapi. Dalam mendeteksi penyakit Surra (Trypanosomiasis)
biasa digunakan tes diagnostik secara parasitologi seperti ulas darah,
Microhematokrit Centrifugation Technique (MHCT) dan inokulasi pada hewan
percobaan pada mencit - Mice Innoculation (MI). Selain itu diagnosa juga dapat
dilakukan secara serologi yakni dengan metoda Card Agglutination Test (CATT),
Antibodi-ELISA dan Antigen-ELISA. Teknik immunohistokimia dengan Avidin-Biotin-
Peroksidase Complex (ABC) telah dicoba untuk mendeteksi Trypanosoma evansi
yang ada di dalam jaringan; pada tikus, parasit dapat dideteksi di hampir semua
organ, sedang pemeriksaan yang sama pada kerbau ternyata tidak mendapatkan
hasil (Damayanti, 1993).
Pada
kondisi laboratorium, tes diagnostic secara ELISA dan CATT dapat mendeteksi
antibodi atau antigen Trypanosoma segera setelah infeksi (Luckin, 1999).
HMCT cukup sensitif untuk deteksi infeksi dini, Ab-ELISA mendeteksi adanya
antibodi mulai minggu ke-2 pasca infeksi, sedang Ag-ELISA memberi harapan
paling sensitif mendeteksi sel mati dari parasit. Sementara CATT, adalah uji
aglutinasi langsung, untuk mendeteksi adanya antibody Trypanosoma evansi
dalam serum atau plasma hewan penderita (Solihat et al., 1996). Uji ini
sudah standar dan bagus digunakan untuk mendiagnosa kerbau, sapi dan kuda.
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa uji aglutinasi terhadap Trypanosoma evansi
memiliki angka sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik, sehingga CATT
bagus untuk digunakan di lapangan. Dengan demikian, Ab-ELISA baik dipakai untuk
skrening awal sejumlah sampel sehingga ternak yang beresiko dapat
diidentifikasi dan CATT untuk mengkonfirmasi hasil evaluasi agar lebih akurat.
Daviosn
et al. (1996) telah mengevaluasi Ag-ELISA terhadap Trypanosoma evansi,
hasil menunjukkan bahwa Ag-ELISA mempunyai sensitivitas yang tinggi dibanding
dengan MHCT atau MI. Meskipun demikian, MI ternyata lebih sensitif dibanding
dengan MHCT tetapi uji ini tidak praktis digunakan di lapangan.
2.3.8
Pencegahan dan Kontrol
Sampai
saat ini belum ada gerakan pengendalian penyakit Surra baik dengan
mengontrol lalat atau pun dengan chemotherapy. Pengendalian Surra sepenuhnya
masih tergantung pada pengobatan dan hanya diberikan kepada hewan yang
menderita infeksi aktif. Para pemelihara kerbau menggunakan insektisida untuk
mengusir lalat (vektor). Biasanya pengobatan hanya diberikan secara individual
kepada hewan yang diduga terinfeksi dengan obat trypanocidal, berdasarkan dari
gejala klinis sakit, akan tetapi untuk hewan karier masih sulit, karena tidak
menunjukkan gejala. Rendahnya sensitivitas tes secara parasitology dan gejala
klinis yang tidak spesifik menyebabkan pengobatan tidak dapat diaplikasikan
secara efektif (Luckins, 1999). Oleh karena itu diperlukan teknik diagnosa yang
benar-benar akurat agar obat tidak terbuang.
11
Obat
trypanocidal yang sudah digunakan untuk mengobati penyakit Surra di
berbagai negara adalah: suramin, diminazene, isomedium, quinapyramine dan
cymelarsan. Diminazen telah berhasil baik untuk pengobatan Surra pada
sapi dan kerbau di India, Vietnam, Thailand dan Indonesia. Isomedium dipakai di
Malaysia dan Vietnam. Beberapa penelitian melaporkan adanya resistensi obat
terhadap beberapa strain Tripanosoma di Vietnam (Stevenson et al.,
1985). Namun terbukti hampir semua isolate yang ada di BBalitvet resisten
terhadap isometamidium dan sebagian isolat resisten terhadap Diminazen azeturat
(Sukanto et al., 1987). Sampai saat ini ternyata hanya Suramin yang
efektif untuk pengendalian Surra, karena tidak menimbulkan resistensi
dan mempunyai efek residual selama tiga bulan sehingga dapat digunakan sebagai
pencegahan dan pengendalian, namun demikian obat ini sulit diperoleh dan jika
ada harganya sangat mahal (Muharsini et al., 2006). Oleh karenanya
pengobatan terhadap Trypanosomiasis (Surra) selayaknya dilakukan secara
strategis yaitu pada awal terjadi infeksi agar penyakit tidak menyebar dan
perlu dicarikan obat alternative yang murah, efektif, mudah aplikasinya serta
mudah didapat. Alternatif sebagai pengganti Suramin sedang diteliti di
BBalitvet.
Pencegahan
dapat dilakukan dengan : (Astiti, 2010)
1. Pembasmian
serangga penghisap darah dengan tindakan
penyemprotan
kandang dan ternak dengan Asuntol atau insektisida lain yang aman bagi ternak.
2. Pembersihan
tempat yang basah dan rimbun. Pengeringan tanah dan penertiban pembuangan
kotoran dan sampah sisa makanan ternak.
3. Pemotongan hewan
yang sakit di malam hari untuk menghindari lalat.
Ternak
yang sakit dapat dipotong dan dikonsumsi dibawah pengawasan dokter hewan.
Pengangkutan ternak sakit ke Rumah Potong Hewan (RPH) hanya dapat dilakukan
pada malam hari untuk menghindari penyebaran oleh lalat. Seluruh sisa pemotongan
harus dibakar dan dikubur dalam-dalam setelah pemotongan, lokasi disuci
(Astiti, 2010).
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim. 2014. Trypanosomiasis
(Surra). (internet). (diunduh tanggal 11 oktober 2015). Tersedia : http://civas.net/2014/02/25/trypanosomiasis-surra/4/.
Abdel-Rady A. 2008. Epidemiological
studies (parasitological, serological and molecular techniques) of
Trypanosoma evansi infection in camels (Camelus dromedarius) in Egypt. Vet
World. 1:325-328
Ancong A.B. 2011. Deskripsi
Penurunan Populasi Ternak Kerbau Di Desa Sumbang Kecamatan Curio
Kabupaten Enrekang. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Andesjam. 2013. http://andesjam.blogspot.com/2013/10/trypanosomiasis-pada- sapi.html diakses tanggal 6 maret
2015
Anonim. 1993. Pedoman
Pengendalian Penyakit Hewan Menular Jilid II. Direktorat Bina Kesehatan
Hewan Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian. Jakarta.
Anonim. 2011. Profil Singkat
Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten
Enrekang.
Anonim. 2011. Gambaran
Umum Lokasi Penelitian. Enrekang.
Astiti L.G.S. 2010. Petunjuk
Praktis Manajemen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Pada Ternak Sapi.
Kementerian Pertanian Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Balai
Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian NTB. Hal 10.
Damayanti, R. 1993. Identification
of Trypanosoma evansi in Infected Rat Tissue by Immunohistohcemical
Methods. Peny. Hewan 25(46): 111-113
Davison HC, Thrusfield MV, Husein
A, Muharsini, S, Partoutomo S, Rae P, Luckins AG. 2000. The occurrence of
Trypanosoma evansi in buffaloes in Indonesia, estimated using various
diagnostic tests. Epidemiol Infect. 124:163-172.
Davison, H.C., M.V. Thrusfield, S.
Muharsini, A. Husein, S. Partoutomo, R. Masake, and A.G. Luckins. 1996. Evaluation
of Trypanosoma evansi Antigen-ELISA I: Experimental Studies. Proceeding
of A Seminar on Diagnostic Techniques for Trypanosoma evansi in Indonesia 10
January 1996. Balitvet, Bogor. 23-28.
Dwinurmijayanto,2011. http://www.docstoc.com/docs/101453419/PARASITOLOG
I# diakses
tanggal 27 Maret 2015
Comments
Post a Comment