Tripanosomiasis

Trypanosoma evansi (surra)

Trypanosomiasis atau Surra adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh agen Trypanosoma evansi dan ditularkan melalui gigitan lalat penghisap darah

(haematophagus flies). Agen Trypanosoma evansi telah tersebar luas di kawasan Asia Tenggara, Afrika dan Amerika Selatan. Pada wilayah yang berbeda tersebut, parasit ini dapat menyerang berbagai spesies hewan. Di Amerika Selatan, kasus penyakit Surra paling sering ditemukan pada kuda. Hewan yang terinfeksi di Cina umumnya kuda, kerbau, dan rusa. Di Timur Tengah dan Afrika parasit ini menyerang unta, dan di Asia Tenggara penyakit Surra dapat ditemukan pada kuda, sapi, dan kerbau (Andesjam, 2013)

Parasit penyebab penyakit ini yakni Trypanosoma evansi umumnya hidup dalam aliran darah khususnya dalam cairan atau plasma darah sebagai parasit ekstra seluler. Parasit ini juga dapat ditemukan dalam organ tubuh yang lain seperti jantung, hati, otak, atau susunan saraf pusat, limpa, ginjal dan paru-paru. Lebih lanjut Sudardjat, menyatakan bahwa untuk keperluan hidup parasit ini, sumber energi diambil dari glukosa darah. Menurunnya kadar glukosa darah menyebabkan terjadinya peningkatan asam susu yang mengakibatkan turunnya daya tahan tubuh, disamping timbulnya toksin/tripanotoksin (Sudardjat, 1998).

2.3.1        Etiologi

Klasifikasi dari trypanosomiasis : (Anonim, 2012)
   Sub Kingdom : Protozoa

Filum

: Sarcomastigophora
Sub Filum
: Mastigophora
Kelas

: Zoomastigophorasida
Ordo

: Kinetoplastorida
Famili

:Trypanosomadidae
Genus

: Trypanosomatidae
Sub Genus
: Trypanozoon
Spesies
: Trypanosoma evansi
Habitat
: Pembuluh darah, pembuluh limfe, cairan otak
   Induk semang : kuda, unta, anjing, hewan ternak

Di alam terdapat berbagai jenis trypanosoma pada hewan (animal trypanosomes) yang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu non patogen dan patogen. Trypanosoma lewisi merupakan trypanosoma non patogen yang ditemukan pada tikus dan ditularkan melalui pinjal (rat flea). Jenis trypanosoma yang patogen diantaranya Trypanosoma brucei yang menyebabkan penyakit Nagana pada ternak di Afrika, Trypanosoma equiperdum diketahui menyebabkan penyakit Dourine pada kuda yang ditularkan melalui perkawinan (venereal disease). Trypanosoma equinum yang ditularkan secara mekanis oleh lalat Tabanus dapat menyebabkan penyakit Mal de Caderas pada kuda di Amerika Selatan. Di Afrika, Trypanosoma vivax dan Trypanosoma congolense yang ditularkan oleh lalat tsetse dapat menginfeksi ternak dan manusia (human trypanosomiasis). Adapun Trypanosoma evansi yang ditularkan secara mekanik oleh lalat tabanus dapat menyebabkan penyakit Surra pada kuda, sapi dan kerbau.(Pathak et al,. 1997)

2.3.2 Morfologi

Trypanosoma evansi memiliki morfologi yang mirip dengan trypanosoma lainnya seperti Trypanosoma equiperdum, Trypanosoma brucei, Trypanosoma gambiense dan Trypanosoma rhodesiense. Permukaan tubuh Trypanosoma evansi diselubungi oleh lapisan protein tunggal yaitu glikoprotein yang dapat berubah-ubah bentuk (variable surface glycoprotein). Dengan kemampuan glikoprotein yang dapat berubah bentuk, maka Trypanosoma evansi dapat memperdaya sistem kekebalan tubuh inang (host). Konsekuensinya akan terjadi variasi antigenik (antigenic variation) dimana tubuh akan selalu berusaha membentuk antibodi yang berbeda-beda sesuai dengan protein permukaan yang ditampilkan oleh

Trypanosoma evansi (Kauffman, 2001).

Penyakit Surra disebabkan oleh protozoa yang merupakan parasit darah, yaitu Trypanosoma evansi. Parasit ini dapat ditemukan di dalam sirkulasi darah pada fase infeksi akut. Trypanosoma evansi memiliki ukuran panjang 15 to 34 μm dan dapat membelah (binary fission) untuk memperbanyak diri. Bentuknya yang khas seperti daun atau kumparan dicirikan dengan adanya flagella yang panjang sebagai alat gerak. Di bagian tengah tubuh terdapat inti yang mengandung kariosoma (trofonukleus) yang besar dan terletak hampir sentral. Salah satu ujung tubuh berbentuk lancip, sedangkan ujung tubuh yang lain agak tumpul dan terdapat bentukan yang disebut kinetoplast (Davison et al, 2000)

 Trypanosoma evansi hidup dan bergerak dalam plasma darah atau cairan jaringan induk semang. Mereka memanjang, ramping dan meruncing dikedua ujungnya. Para pellicle lapisan luar dari sitoplasma cukup fleksibel untuk memungkinkan tingkat gerakan tubuh. Seperti ditunjukkan dalam Gambar 1. Permukaan tubuh Trypanosoma evansi diselubungi oleh lapisan protein tunggal yaitu glikoprotein yang dapat berubah-ubah bentuk (variable surface glycoprotein). Dengan kemampuan glikoprotein yang dapat berubah bentuk, maka Trypanosoma evansi dapat memperdaya sistem kekebalan tubuh inang (host). Konsekuensinya akan terjadi variasi antigenik (antigenic variation) dimana tubuh akan selalu berusaha membentuk antibodi yang berbeda-beda sesuai dengan protein permukaan yang ditampilkan oleh Trypanosoma evansi (Omanwar et al. 1999).


2.3.2        Siklus Hidup

Penyakit ini ditularkan secara mekanik oleh lalat penghisap darah dari genus Tabanus dan Stomoxys (Soulsby, 1982). Lalat memindahkan Trypanosoma evansi pada saat menghisap makanan/darah pada tubuh hewan, karena terganggu lalat tersebut kemudian pindah ke hewan lain dengan cepat untuk melanjutkan kegiatan makannya. Parasit darah ini dapat hidup dalam mulut lalat selama 30 menit sampai enam jam (Sukanto, 1994).

Didalam tubuh vektor, dimulai sejak lalat menghisap darah penderita, bersama darah juga akan terhisap gamon (mikro dan makro)-gamet, didalam tubuh lalat mikrogamet akan secara aktif mencari makrogamet untuk kawin, hasil perkawinan terbentuklah zygot berbentuk bulat kemudian berkembang lebih lanjut bentuknya berubah memanjang dan dapat bergerak disebut ookinet, ookinet bergerak menuju dinding usus tengah untuk membentuk ookista, ookista mengalami proses sprogony (pembentukan sporozoit) dengan menbelahan berlipat ganda (skizogoni) menghasilkan sporozoit, sporozoit akan bermigrasi menuju kelenjar air liur sehingga lalat menjadi infektif. (Dwinurmijayanto, 2011)

Didalam tubuh hewan peka, dimulai juga saat lalat infektif menghisap darah, sporozoit yang berada didalam kelenjar ludah akan ikut tersebar kedalam peredaran darah, kemudian akan memasuki sel endotel (ginjal, hati dan paru-paru) serta didalam ruangan berisi darah atau didalam jaringan (jantung, limpa, pankreas, thymus, otot-otot, usus, tarakhea, ovarium, kelenjar adrenal, dan otak. Sporozoit mengalami proses merogony (pembentukan merozoit) dengan cara pembelahan berlipat ganda (skizogoni) sehingga dibebaskan banyak merozoit. Merogoni berlangsung beberapa kali, kemudian mengalami proses gametogony (pembentukan gamet) akhirnya terbentuklah (mikro dan makro)-ganet. Gamet ini akan ikut terhisap saat lalat menghisap darah maka terulanglah siklus seperti diatas. (Dwinurmijayanto, 2011)


  
2.3.3        Patogenesis

Vektor utama adalah lalat dan nyamuk (Stomoxys calcitrans, Lyperosia, Glossina dan Tabanus). Trypanosoma evansi diketahui hanya berbentuk tunggal (monomorfik) berbeda dengan spesies lain yang berbentuk ganda (pleomorfik). Dalam keadaan tertentu, protozoa ini tidak dapat tertangkap saat dilakukan pemeriksaan karena dapat bersembunyi di dalam kelenjar limfe (Subronto, 2006).

Penyakit Tripanosomiasis ditularkan secara mekanik melalui gigitan vektor setelah ia menghisap darah penderita, baik hewan ternak maupun anjing. Setelah memasuki peredaran darah, trypanosoma segera memperbanyak diri secara biner. Dalam waktu pendek penderita mengalami parasitemia dan suhu tubuh biasanya mengalami kenaikan. Sel darah penderita yang tersensitisasi oleh parasit segera dikenali oleh makrofag dan dimakan oleh sel darah putih tersebut. Bila sel darah merah yang dimakan makrofag cukup banyak, penderita segera mengalami anemia normositik dan normokromik. Sebagai akibat anemia, penderita tampak lesu, malas bergerak, bulu kusam, nafsu makan menurun dan mungkin juga terjadi oedem di bawah kulit maupun serosa (Subronto, 2006).

2.3.4        Epidemiologi

Ada 4 macam pertanyaan dasar untuk menyelidiki penyakit dalam populasi yang mencakup eksistensi, penyebab, pengendalian dan ekologi penyakit dalam populasi. Salah satu pertanyaan dalam menyelidiki penyakit penyebab Trypanosoma evansi adalah perananan faktor-faktor lingkungan, hospes, agen pembawa sabagai penyebab penyakit yang ada dalam Postula Evans ( Martin. et al., 1987).

Mengetahui tentang aspek Centry Epidemiologi dari ekologi parasite Trypanosoma evansi tersebut sangat berguna untuk menentukan strategi


8


pemberantasan dan pencegahannya. Diketahuinya faktor penyebab Trypanosoma evansi sangat berguna untuk menentukan penyebab penyakit selanjutnya dengan metode yang efektif untuk pengendalian penyakit tersebut sehingga dapat menekan dampak ekonomi dan social yang ditimbulkan ( Rushton et al, 2006).

Trypanosoma evansi dapat menginfeksi berbagai hewan inang (wide host spectrum) yang secara ekonomis bernilai penting. Kuda sangat rentan terhadap penyakit Surra dan dapat menyebabkan mortalitas tinggi. Hewan lain yang rentan terinfeksi adalah sapi, kerbau, kambing, domba dan rusa, namun hewan-hewan tersebut lebih toleran terhadap infeksi sehingga dapat menjadi hewan pembawa parasit (reservoir). Agen Trypanosoma evansi juga dapat menyerang babi, anjing, kucing dan beberapa jenis hewan liar. Adapun tikus dan mencit merupakan hewan percobaan yang sangat rentan terinfeksi Trypanosoma evansi sehingga digunakan dalam teknik inokulasi untuk mendeteksi infeksi subklinis penyakit Surra (Nasution, 2007).

Manusia, walaupun jarang terjadi, dapat pula terinfeksi Trypanosoma evansi. Namun infeksi pada manusia bukanlah infeksi yang terjadi secara alami karena pada dasarnya Trypanosoma evansi adalah parasit darah pada hewan (animal trypanosome). Kasus infeksi Trypanosoma evansi pada manusia yang pernah dilaporkan terjadi India masih memerlukan kajian lebih lanjut. (Nasution, 2007).

Di beberapa negara, insidensi penyakit Surra mengalami peningkatan yang signifikan terutama pada musim hujan. Hal ini terjadi karena populasi lalat penghisap darah meningkat pada musim hujan. Selain faktor musim, beban kerja yang berlebih pada ternak, kurangnya nutrisi dan stress lingkungan juga berkaitan dengan penyakit Surra. (Oka, 2010)

Di Indonesia, wabah Surra terjadi secara sporadik. Walaupun terkadang wabah terjadi lokal, namun mortalitas (kematian) ternak yang terinfeksi cukup tinggi. Gambaran lain tentang penyakit Surra di Indonesia adalah masih berlangsungnya perpindahan hewan dari daerah yang tertular Surra ke daerah yang bebas atau sebaliknya. (Oka, 2010)

Penyebaran penyakit Surra yang luas di hampir seluruh wilayah Indonesia dan kejadian penyakit yang sporadik memperkuat dugaan adanya enzootic stability antara agen Trypanosoma evansi dan inang. Hal ini artinya penyakit Surra dapat muncul kapan saja tergantung dengan faktor lingkungan, kondisi imunitas hewan dan populasi lalat (vektor). (Nasution, 2007).

2.3.5        Cara Penularan

Penularan penyakit Surra antarhewan terjadi melalui darah yang mengandung parasit Trypanosoma evansi. Penularan yang paling utama terjadi secara mekanis oleh lalat penghisap darah (hematophagous flies). Di Indonesia, vektor penular yang berperan adalah lalat Tabanus, Haematopota, dan Chrysops. Jenis lalat lain seperti Stomoxys, Musca, Haematobia juga dapat menjadi vektor pada saat populasi lalat tersebut meningkat di suatu wilayah. Walaupun penularan terjadi melalui gigitan lalat, tetapi agen Trypanosoma evansi tidak melakukan perkembangan siklus hidup di dalam tubuh lalat. (OIE, 2009).

Hewan karnivora dapat terinfeksi trypanosoma apabila memakan daging yang mengandung trypanosoma. Penularan melalui air susu dan selama masa



9


kebuntingan pernah pula dilaporkan (OIE, 2009). Namun karena parasit ini tidak mampu bertahan lama di luar tubuh inang, maka resiko penularan melalui produk asal hewan (daging dan susu) dapat diabaikan.

Penularan melalui peralatan kandang seperti dehorner (alat pemotong tanduk) serta alat-alat medis misalnya jarum suntik dan alat bedah dapat terjadi apabila peralatan tersebut terkontaminasi darah yang mengandung parasit trypanosoma. (OIE, 2009).

2.3.6        Gejala Klinis

Gejala klinis yang tampak pada hewan bervariasi tergantung pada keganasan/virulensi agen Trypanosoma evansi, jenis hewan (host) yang terinfeksi dan faktor lain yang dapat menimbulkan stress. Lama waktu antara awal infeksi dan munculnya gejala klinis (masa inkubasi) bervariasi, rata – rata 5 sampai 60 hari pada infeksi akut. Akan tetapi penyakit Surra umumnya berlangsung kronis (chronic infection) dengan angka kematian yang rendah sehingga pernah dilaporkan masa inkubasi yang lebih lama yaitu 3 bulan. Setelah masa inkubasi, dalam waktu kurang dari 14 hari akan ditemukan parasit yang beredar dalam sirkulasi darah (parasitemia). (Anonim 2014).

Manisfestasi klinis penyakit Surra dapat berupa gejala demam berulang (intermiten) akibat parasitaemia. Parasitemia sangat tinggi variasinya selama masa infeksi: tinggi pada awal infeksi, rendah selama infeksi berjalan kronis dan hampir tidak ada pada hewan pembawa agen (carrier). (Anonim 2014).

Anemia merupakan gejala yang paling banyak ditemukan pada infeksi oleh trypanosoma. Membran sel darah merah akan kehilangan salah satu komponen penyusun yaitu asam sialik (sialic acid). Hal tersebut akan mengaktifkan makrofag pada organ limpa, hati, paru-paru, limfonodus dan sum-sum tulang untuk memfagosit sel darah merah sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel darah merah. (Anonim 2014).

Gejala lain diantaranya penurunan berat badan, pembengkakan limfonodus prescapularis kiri dan kanan, kelemahan otot tubuh, oedema pada anggota tubuh bagian bawah seperti kaki dan abdomen, urtikaria pada kulit, perdarahan titik (petechial haemorrhages) pada membran serous kelopak mata, hidung dan anus, keguguran (abortus), dan gangguan syaraf. Penurunan imunitas tubuh (imunosupresi) juga ditemui sehingga hewan inang menjadi rentan terhadap infeksi sekunder. (Anonim 2014).

Trypanosomiasis pada kerbau umumnya memang bersifat kronis bahkan tanpa gejala klinis (asimtomatis). Kerbau menunjukkan parasitemia lebih lama dan lebih tinggi daripada sapi, sehingga diduga sebagai sumber penularan (reservoir) yang potensial bagi ternak lainnya (Levine, 1995).

Setelah melewati masa inkubasi timbul gejala umum : temperatur naik, lesu, letih dan nafsu makan terganggu. biasanya hewan dapat mengatasi penyakit walaupun dalam darahnya ada Trypanosoma bertahun-tahun. Apabila sakit : demam selang seling, oedema bawah dagu dan anggota gerak, anemia, makin kurus dan bulu rontok. Mucosa menguning awalnya cermin hidung mengering lalu keluar lendir dan air mata dan sering makan tanah. Ketika masuk cairan cerebrospinal: sempoyongan, berputar-putar,gerak paksa dan kaku (Levine, 1994)




10


2.3.7        Diagnosis

Tes diagnosa merupakan hal yang sangat penting untuk mendeteksi suatu penyakit. Pada level populasi (herd level) memberikan indikasi dalam

menentukan frekuensi kejadian penyakit; dan pada level individu, selain dipakai sebagai langkah awal sebelum memberikan pengobatan pada ternak, juga untuk

mengkaji efikasi suatu terapi. Dalam mendeteksi penyakit Surra (Trypanosomiasis) biasa digunakan tes diagnostik secara parasitologi seperti ulas darah, Microhematokrit Centrifugation Technique (MHCT) dan inokulasi pada hewan percobaan pada mencit - Mice Innoculation (MI). Selain itu diagnosa juga dapat dilakukan secara serologi yakni dengan metoda Card Agglutination Test (CATT), Antibodi-ELISA dan Antigen-ELISA. Teknik immunohistokimia dengan Avidin-Biotin- Peroksidase Complex (ABC) telah dicoba untuk mendeteksi Trypanosoma evansi yang ada di dalam jaringan; pada tikus, parasit dapat dideteksi di hampir semua organ, sedang pemeriksaan yang sama pada kerbau ternyata tidak mendapatkan hasil (Damayanti, 1993).

Pada kondisi laboratorium, tes diagnostic secara ELISA dan CATT dapat mendeteksi antibodi atau antigen Trypanosoma segera setelah infeksi (Luckin, 1999). HMCT cukup sensitif untuk deteksi infeksi dini, Ab-ELISA mendeteksi adanya antibodi mulai minggu ke-2 pasca infeksi, sedang Ag-ELISA memberi harapan paling sensitif mendeteksi sel mati dari parasit. Sementara CATT, adalah uji aglutinasi langsung, untuk mendeteksi adanya antibody Trypanosoma evansi dalam serum atau plasma hewan penderita (Solihat et al., 1996). Uji ini sudah standar dan bagus digunakan untuk mendiagnosa kerbau, sapi dan kuda. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa uji aglutinasi terhadap Trypanosoma evansi memiliki angka sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik, sehingga CATT bagus untuk digunakan di lapangan. Dengan demikian, Ab-ELISA baik dipakai untuk skrening awal sejumlah sampel sehingga ternak yang beresiko dapat diidentifikasi dan CATT untuk mengkonfirmasi hasil evaluasi agar lebih akurat.

Daviosn et al. (1996) telah mengevaluasi Ag-ELISA terhadap Trypanosoma evansi, hasil menunjukkan bahwa Ag-ELISA mempunyai sensitivitas yang tinggi dibanding dengan MHCT atau MI. Meskipun demikian, MI ternyata lebih sensitif dibanding dengan MHCT tetapi uji ini tidak praktis digunakan di lapangan.


2.3.8        Pencegahan dan Kontrol

Sampai saat ini belum ada gerakan pengendalian penyakit Surra baik dengan mengontrol lalat atau pun dengan chemotherapy. Pengendalian Surra sepenuhnya masih tergantung pada pengobatan dan hanya diberikan kepada hewan yang menderita infeksi aktif. Para pemelihara kerbau menggunakan insektisida untuk mengusir lalat (vektor). Biasanya pengobatan hanya diberikan secara individual kepada hewan yang diduga terinfeksi dengan obat trypanocidal, berdasarkan dari gejala klinis sakit, akan tetapi untuk hewan karier masih sulit, karena tidak menunjukkan gejala. Rendahnya sensitivitas tes secara parasitology dan gejala klinis yang tidak spesifik menyebabkan pengobatan tidak dapat diaplikasikan secara efektif (Luckins, 1999). Oleh karena itu diperlukan teknik diagnosa yang benar-benar akurat agar obat tidak terbuang.



11


Obat trypanocidal yang sudah digunakan untuk mengobati penyakit Surra di berbagai negara adalah: suramin, diminazene, isomedium, quinapyramine dan cymelarsan. Diminazen telah berhasil baik untuk pengobatan Surra pada sapi dan kerbau di India, Vietnam, Thailand dan Indonesia. Isomedium dipakai di Malaysia dan Vietnam. Beberapa penelitian melaporkan adanya resistensi obat terhadap beberapa strain Tripanosoma di Vietnam (Stevenson et al., 1985). Namun terbukti hampir semua isolate yang ada di BBalitvet resisten terhadap isometamidium dan sebagian isolat resisten terhadap Diminazen azeturat (Sukanto et al., 1987). Sampai saat ini ternyata hanya Suramin yang efektif untuk pengendalian Surra, karena tidak menimbulkan resistensi dan mempunyai efek residual selama tiga bulan sehingga dapat digunakan sebagai pencegahan dan pengendalian, namun demikian obat ini sulit diperoleh dan jika ada harganya sangat mahal (Muharsini et al., 2006). Oleh karenanya pengobatan terhadap Trypanosomiasis (Surra) selayaknya dilakukan secara strategis yaitu pada awal terjadi infeksi agar penyakit tidak menyebar dan perlu dicarikan obat alternative yang murah, efektif, mudah aplikasinya serta mudah didapat. Alternatif sebagai pengganti Suramin sedang diteliti di BBalitvet.

Pencegahan dapat dilakukan dengan : (Astiti, 2010)
1.      Pembasmian serangga penghisap darah dengan tindakan

penyemprotan kandang dan ternak dengan Asuntol atau insektisida lain yang aman bagi ternak.

2.      Pembersihan tempat yang basah dan rimbun. Pengeringan tanah dan penertiban pembuangan kotoran dan sampah sisa makanan ternak.

3.      Pemotongan hewan yang sakit di malam hari untuk menghindari lalat.

Ternak yang sakit dapat dipotong dan dikonsumsi dibawah pengawasan dokter hewan. Pengangkutan ternak sakit ke Rumah Potong Hewan (RPH) hanya dapat dilakukan pada malam hari untuk menghindari penyebaran oleh lalat. Seluruh sisa pemotongan harus dibakar dan dikubur dalam-dalam setelah pemotongan, lokasi disuci (Astiti, 2010).

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2014. Trypanosomiasis (Surra). (internet). (diunduh tanggal 11 oktober 2015). Tersedia :  http://civas.net/2014/02/25/trypanosomiasis-surra/4/.

Abdel-Rady A. 2008. Epidemiological studies (parasitological, serological and molecular techniques) of Trypanosoma evansi infection in camels (Camelus dromedarius) in Egypt. Vet World. 1:325-328

Ancong A.B. 2011. Deskripsi Penurunan Populasi Ternak Kerbau Di Desa Sumbang Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.


Anonim. 1993. Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular Jilid II. Direktorat Bina Kesehatan Hewan Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian. Jakarta.

Anonim.  2011.  Profil  Singkat  Rencana  Tata  Ruang  Wilayah  Kabupaten
   Enrekang.

Anonim. 2011. Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Enrekang.

Astiti L.G.S. 2010. Petunjuk Praktis Manajemen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Pada Ternak Sapi. Kementerian Pertanian Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB. Hal 10.

Damayanti, R. 1993. Identification of Trypanosoma evansi in Infected Rat Tissue by Immunohistohcemical Methods. Peny. Hewan 25(46): 111-113

Davison HC, Thrusfield MV, Husein A, Muharsini, S, Partoutomo S, Rae P, Luckins AG. 2000. The occurrence of Trypanosoma evansi in buffaloes in Indonesia, estimated using various diagnostic tests. Epidemiol Infect. 124:163-172.

Davison, H.C., M.V. Thrusfield, S. Muharsini, A. Husein, S. Partoutomo, R. Masake, and A.G. Luckins. 1996. Evaluation of Trypanosoma evansi Antigen-ELISA I: Experimental Studies. Proceeding of A Seminar on Diagnostic Techniques for Trypanosoma evansi in Indonesia 10 January 1996. Balitvet, Bogor. 23-28.

    I# diakses tanggal 27 Maret 2015





Comments

Popular posts from this blog

Farmakologi Veteriner ANTIDIARE

Theileria Pada Sapi

Farmako SSO